2nd Crying: It was Rain.

689 36 0
                                    

Hujan. Memoriku mundur jauh ke belakang.

**

Kau ingat? Saat pergantian kelas filsafat, kita pernah menembus hujan cukup deras untuk menuju gedung kelas di fakultas psikologi yang asing bagi kita sebagai anak sosial politik.

Badan kita basah dan kita terlambat masuk kelas karena beberapa kali salah masuk gedung. Profesor mata kuliah yang paling keras se-universitas itu tidak mengijinkan kita masuk. Kita sempat kesal karena hanya terlambat 60 detik saja. Kita pun memilih duduk di luar kelas, di dekat pintu, sambil mendengarkan beliau ceramah. Berharap mendapat belas kasihan, kita akhirnya diusir untuk kali kedua. Penderitaan hari itu kita akhiri dengan salling menertawakan diri kita masing-masing. Bagiku, hal itu sangat konyol.

Terjebak hujan.

Kita memilih untuk jeda.

Kantin perpustakaan menjadi saksi bisu saat untuk pertama kali kau menanyakan tentang keluargaku lebih dalam dan alasanku pindah ke kota itu. Bagiku kisah keluargaku tidak layak untuk diceritakan. Ibuku adalah seorang mantan pelacur dan aku adalah anak yang tidak diharapkan untuk ada di dunia ini. Ayahku hobi mengoleksi wanita walaupun dia sangat taat beragama. Ibuku dan aku adalah korban kekerasan bila ayah pulang ke rumah, itulah alasanku  "mengasingkan diri" ke kota ini.

Aku selalu menyimpan kisah ini rapat-rapat. Aku takut bila orang lain tahu mereka akan mencelaku. Namun responmu berbeda. Kau mendengarkanku dengan hati dan pikiran terbuka. Aku pun bisa menceritakan kisah itu dengan tenang. Aku percaya bahwa kau tidak akan mengasihaniku lalu menjauh seperti yang sering terjadi. Aku merasa ada beban berat yang seketika hilang saat itu.

Aku sudah tidak bisa lagi membedakan air mata dan air hujan saat itu. Terima kasih sudah menguatkanku.

**

Saat ini, kau hanya beberapa meter di hadapanku. Namun, rasanya kau begitu jauh untuk dijangkau. Aku hanya ingin menanyakan kabar saja. Namun, aku takut kau sudah lupa siapa aku. Di satu sisi, aku juga tidak berharap kau mengingatku lagi.

Panggilan penerbangan.

Sudah saatnya untuk memasuki pesawat. Aku memilih masuk di deretan akhir. Kau di depanku berdiri dengan ransel warna kesukaanmu, cokelat tua.

Badanmu semakin tegap.

Aku sudah lupa kapan terakhir kita saling bersaing membesarkan otot dan saling mengejek tubuh satu sama lain. Hey, apakah kau masih ingat? Dulu, kau seringkali kabur ke kamar asramaku hanya untuk latihan beban secara sembunyi-sembunyi karena kau malu diejek adik-adik di rumah kontrakanmu saat kuliah. Biasanya kau akan menyuruhku menjadi penghitung waktu dan repetisi latihan bebanmu lalu kau akan memuji dirimu sendiri di depan kaca. Konyol. Tapi aku harus akui kau memang menarik untuk dilihat. Kau hanya ragu.

Aku tersenyum mengingat itu namun dadaku masih sesak.

**

Kau sudah masuk gerbang pesawat. Kali ini giliranku menyusul. Dari belakang aku masih melihat bahumu. Kita akan berada di kota sama dalam beberapa jam ke depan namun aku tidak yakin kita bisa bertemu lagi. Cukuplah melihatmu dari belakang walaupun aku tahu ini menyakitkan.

Seorang pramugari menyambutku masuk ke dalam pesawat. Kau sepertinya sudah mendapatkan bangku. Aku tidak tahu kau duduk dimana. Punggungmu sudah tidak lagi terlihat. Aku memastikan wajahku masih ditutupi masker karena aku tidak ingin kau mengenaliku saat tanpa sengaja melewatimu di kabin.

Aku mencari nomor kursiku lalu aku terdiam cukup lama setelah menaruh ranselku di bagasi kabin. Pramugari dari belakang menyuruhku untuk segera duduk. Nafasku kembali menjadi sesak saat tahu bahwa aku ternyata akan duduk di sebelahmu.

***

NEXT: 3rd Crying


7 Years Crying [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang