3rd Crying: Anxiety.

535 35 0
                                    

Aku mencari nomor kursiku lalu aku terdiam cukup lama setelah menaruh ranselku di bagasi kabin. Pramugari dari belakang menyuruhku untuk segera duduk. Nafasku kembali menjadi sesak saat tahu bahwa aku ternyata akan duduk di sebelahmu.

***

Kau tersenyum manis dengan ramah saat aku duduk di bangku tengah tepat di sampingmu yang menghadap jendela pesawat. Mataku kualihkan.

Nafasku seketika memberat dan aku mulai berkeringat.

Aku menunduk seakan kepalaku begitu berat. Kau menepuk bahuku membantu pramugari yang sedari tadi mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman.

Aku ingin tiba-tiba menghilang.

Aku tiba-tiba ingin pesawat ini rusak, gagal terbang, lalu kami diturunkan.

Aku tahu ini konyol dan terlalu berlebihan. Tapi aku tidak bisa.

Nafasku benar-benar sesak. Aku begitu cemas. Tanganku bergetar.

Sepertinya kau menyadari situasiku lalu bertanya pelan tentang keadaanku. Tanpa melihatmu, aku hanya bisa mengangguk sambil menunduk dan menjawab pelan bahwa aku baik-baik saja. Aku bilang aku hanya kurang tidur. Jarakmu hanya sejengkal namun aku bahkan tidak berani melihat wajahmu. Aku takut.

Aku harus bertahan. Aku ingat Ibu. Dia sedang menungguku saat ini. Di tengah kecemasanku aku bertahan untuk menjaga nafas.

Pesawat pun lepas landas dan aku memaksakan diriku untuk tertidur dengan musik di telingaku. Aku berusaha menganggapmu tidak ada. Aku berdoa. Aku berjuang menganggapmu lenyap. Aku mencoba meniadakan diriku sendiri. Aku meminum obat penenang dari saku bajuku. Tidak lama aku tertidur.

**

Aku terbangun dan aku sudah mulai tenang.

Dengan sangat hati-hati aku berusaha menoleh ke arahmu dengan berpura-pura menoleh ke arah jendela. Ternyata kau sedang tertidur.

Masih dengan wajah yang sama. Wajah kita sangat dekat. Sama dekatnya saat momen pertama kali kita mencoba arak atau tuak Medan. Karena penasaran kita mencoba 6 botol banyaknya. Kau tertidur di kamarku dan kita terbangun dengan wajah saling berhadapan. Saat itulah aku menyadari bahwa wajahmu begitu indah dengan struktur tulang yang menawan.

Paginya, dengan polosnya kau mengajakku berdoa bersama-sama memohon ampun pada Tuhan. Kau seperti anak kecil yang takut dihukum bapaknya dengan kayu rotan. Saat berdoa aku hanya fokus pada wajahmu yang sedang berdoa. Tuhan sedang mengirimkan malaikat pagi itu di hadapanku. Aku tersenyum kecil mengingat hal itu.

Aku masih menatap wajah yang sama yang selalu gemetar saat harus tampil di depan kelas sebagai pembicara presentasi kelompok. Kami sengaja memilihmu karena kau yang paling pendiam di kelas. Aku biasanya akan mengepalkan tangan menyemangatimu. Namun, ternyata kau memang terlahir sebagau pembicara yang handal. Kau hanya tidak percaya diri. Hanya butuh dukungan dan keberanian.

Pada akhirnya, tidak sedikit wanita yang mengejarmu setelah presentasi keduamu di mata kuliah kebijakan publik. Kharismamu berbeda. Kau masih orang yang sama. Orang yang akhirnya menjadi sainganku di kelas secara akademis namun juga sabahat terbaikku. Kau juga orang yang mengajarkanku untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Namun, wajah yang kulihat saat ini juga adalah wajah yang sama suatu kali tampak ragu, curiga dan risih saat kau sadar di ulang tahunmu yang ke-21 hanya aku yang membawakanmu hadiah.

Kau terkejut lalu mengembalikan hadiah itu. Kau bilang ini aneh.

Pada awalnya aku tidak mengerti, namun akhirnya aku mengerti mengapa kau bertindak seperti itu.

Persahabatan kita yang kuat dan terlalu dekat membuat teman-teman berpikir lain dan menyebarkan isu yang membuatmu tidak nyaman. Mungkin karena kita selalu berdua lalu mereka iri? Aku tidak mengerti.

Isu itu mulai melebar. Mereka benar-benar menganggap kita sebagai kekasih. Ini sangat mengganggu. Kita hanya bersahabat. Tidak lebih. Saat itu kau sedang mencalonkan diri sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas. Aku cenderung cuek dan menanggapinya sebagai hal biasa namun aku tetap merasa bersalah. Hingga suatu hari selesai bermain futsal, kita sepakat untuk pura-pura saling menjauh dulu hingga masa kampanye dan pemilihan selesai. Aku sepakat. Ini demi kebaikanmu juga. Kebetulan aku juga sedang fokus pada konser gerejawi kampus. Aku tidak ingin isu ini menghancurkanmu. Ini adalah impianmu yang pernah kau ceritakan. Kita pun membuat perjanjian yang ternyata membuatku hancur. Lebih tepatnya, membuat aku menghancurkan diriku sendiri.

***

NEXT: 4th Crying


7 Years Crying [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang