Kita pun membuat perjanjian yang ternyata membuatku hancur. Lebih tepatnya, membuat aku menghancurkan diriku sendiri. Jangan berteman denganmu hingga cita-cita kecilmu itu tercapai. Mari kita pura-pura bermusuhan.
**
Kau masih tertidur.
Sangat tenang namun sedikit angkuh dengan dagu sedikit terangkat. Seangkuh saat kita pura-pura tidak saling bicara yang seakan-akan nyata.
Saat berpapasan pun aku berjuang keras untuk tidak menyapamu.
Saat di kelas aku akan berusaha masuk terlambat dengan sengaja menunggu di kantin dulu hingga bel pergantian kelas berbunyi sehingga aku akan duduk di bangku paling belakang, menjauh darimu.
Saat kelas usai pun aku akan langsung keluar kelas dari pintu belakang berusaha menghindarimu.
Aku akan makan siang di luar kampus dan menyadari bahwa ternyata aku benar-benar sendirian.
Bahkan saat di gereja kampus pun aku akan memilih duduk berjauhan dan aku akan menghindarimu untuk bersalaman. Aku tahu bahwa kau berusaha untuk datang ke bangkuku untuk mengucapkan selamat hari minggu namun aku lebih cepat bergerak ke arah parkiran dan pergi dengan motorku.
Tanpa sepengetahuanmu aku mengganti nomor ponselku dan jarang berada di kamar asrama. Aku akan lebih sering di concert hall atau di perpustakan hingga larut. Entahlah, mungkin aku terlalu peduli padamu karena tidak ingin mengganggu proses kampanyemu atau mungkin aku yang terlalu bodoh. Aku hanya tahu bahwa ini untuk kebaikan kita.
Dua bulan tanpa interaksi sebenarnya cukup lama dan aku merasa kesepian. Aku hanya bisa melihat dirimu dari jauh. Aku senang melihat dirimu selalu bahagia bersama tim suksesmu. Sepertinya semua berjalan cukup baik. Seandainya isu di antara kita tidak ada mungkin aku bisa menjadi salah satu bagian dari tim suksesmu dan bisa mendukungmu sepenuhnya sebagai seorang sahabat. Tapi bentuk dukunganku saat ini adalah dengan menjaga jarak darimu. Itu sudah cukup. Berdiri 5 meter di dekatmu saja akan membuat isu itu menyeruak kembali dan namamu akan rusak di bursa pemilihan.
**
Dua bulan sudah berlalu.
Hari itu adalah hari pemilihan. Dari belakang aku membujuk junior-junior di organisasi dan junior-junior yang sering bertanya tentang strategi perkuliahan padaku untuk memilihmu. Aku hanya bisa membantu itu.
Hingga tiba saatnya hari pemilihan, kau pun berorasi di hadapan ribuan mahasiswa fakultas menyampaikan visi misi idealismu dengan tenang penuh wibawa dan sangat kharismatik.
Aku menontonmu dari tribun atas aula fakultas. Bercampur dengan mahasiswa yang lain.
Aku tidak menyangka bahwa sosok yang sekarang berdiri di hadapan ribuan orang itu adalah sosok yang pada setahun awal masa perkuliahan adalah orang yang berlatih berbicara bersamaku di depan cermin kamar. Orang yang selalu aku ejek cara bicara terbata-batanya. Sosok yang berlatih cukup lama hingga jam 3 pagi di kamarku hanya untuk presentasi bahan kuliah psikologi sosial yang durasinya hanya 5 menit saat diimplementasikan di kelas.
Aku terbangga haru saat kau mendapatkan tepukan riuh para pendukungmu.
Saat selesai orasi, aku merasa tanpa sengaja mata kita beradu. Kau mengepalkan tangan dan tersenyum. Aku tidak membalas senyuman itu. Aku hanya menunduk dan tidak ingin terlalu percaya diri. Begitu banyak orang saat itu di tribun. Mungkin aku bukan satu-satunya yang kau berikan senyum. Aku segera turun lalu mengisi kotak suara dan pulang.
Saat perjalanan pulang aku merasa tidak berguna sebagai seorang sahabat. Aku tidak melakukan apa-apa saat kau sedang berjuang disana. Aku tidak tahu aku harus melakukan apa selain diam. Besoknya, kau diumumkan menang. Kau berhasil mencapai mimpi yang dulu sempat kita doakan bersama selesai ibadah jumat di kampus. Doa kita terjawab.
**
Aku masih menatapmu yang tertidur. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca namun mampu aku tahan. Tapi aku masih tetap menatapmu, karena ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk melihatmu cukup lama.
Cukup 2 bulan untuk mendukungmu dalam diam dan cukup 2 bulan juga untuk meruntuhkan persahabatan yang sudah dijaga utuh selama 2 tahun lebih.
Selama 2 bulan itu aku menyadari bahwa aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat. Aku tahu ini tidak benar. Kita sama-sama belajar alkitab dan berada dalam pelayanan iman yang sama. Aku tahu ini salah. Namun, aku tidak tahu harus bertindak seperti apa. Aku ketakutan. Aku terus menyangkal bahwa aku tidak memiliki perasaan khusus padamu. Namun, aku tidak bisa bohong. Aku berada dalam titik bingung dengan pertanyaan besar.
***
NEXT: 5th Crying
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Years Crying [COMPLETED]
RomanceDi bandara, aku kembali melihatmu. Namun, kau tidak melihatku. Sudah 7 tahun lamanya. Aku kembali harus belajar cara menghadapimu. Cara untuk tetap bertahan hidup.