Bagian 1. Harapan

247 18 0
                                    

PINTU kamar mandi terbuka dan seorang perempuan keluar darinya, Endah menghela napasnya dalam-dalam, wajah cantiknya berbayang sedih. Matanya yang agak sipit menunduk sendu. Bibirnya sedikit berkerut.

Satu strip saja, ditatapnya alat test packnya dengan pandangan mata nanar. Begitu berulang kali setiap dia menggunakan test pack selama 10 tahun terakhir ini. Bibirnya mendecak, hatinya selalu bertanya Kapan gilirannya mendapat 2 strip.
Teman-teman seangkatannya yang telah menikah sudah memiliki anak semua; jangankan yang seangkatan, yang jauh lebih muda dibandingkan dia saja sudah beranak pinak.

Pagi itu bayangan dalam cermin yang ia tatap, wanita usia 35 tahun, dengan raut wajah manis sendu, rambut panjang dibawah bahu, seakan mengajaknya berbincang.

"Apakah aku tak pantas menjadi seorang ibu"? Pikirnya pelan.
"apakah Tuhan tidak mau mempercayakan seorang anak pada aku dan suamiku"? kiranya.

Sejenak dia termangu,dia kibaskan sedikit rambutnya. Hari ini adalah hari terakhirnya di kantor. Sekali lagi ia menghela nafas, terlihat jelas dia sedang sesak memikirkan sesuatu.

Suaminya dan juga keluarga besar mereka berkali-kali menyarankan dirinya untuk berhenti berkerja dengan alasan agar dirinya memiliki waktu istirahat yang lebih banyak sehingga dapat segera hamil. Tentu saja ini bukan hal yang mudah untuk Endah, menjadi seorang akuntan adalah profesi yang dia idam-idamkan semenjak dahulu kala, bahkan dia sendiri adalah seorang sarjana akuntansi.
Tetapi,
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar bagi dia dan Hendro, suaminya, menjalani lika liku kehidupan berumah tangga tanpa keturunan. Dia memilih untuk mengalah mengikuti permintaan semacam itu.

Dulu, hampir setiap pagi mereka jalan kaki keliling komplek perumahan, dan Endah sering mengerling iri pada tetangganya yg berjalan dengan anak anak mereka. Tentu saja dia akan menyapa dan tersenyum, tetapi ....ahh. .. ada sedih dan gembira melihat keluarga yg lengkap itu.

Tetapi, dia merasa Hendro selalu bersamanya, dan dia merasa bersyukur dengan pendamping hidupnya itu. Mereka berdua sudah berusaha memiliki anak, tetapi agaknya memang takdir belum berpihak. Tes kesuburan, inseminasi, bayi tabung, minum jamu-jamuan sudah dijalani, bahkan mengubah gaya hidupnya, menjalani diet.

Telinganya hampir tipis mendengar ratusan kali pertanyaan Kapan hamil dari teman2 kantornya, tetangganya, keluarga besarnya, bahkan kenalan baru yg dia temui.
Belum lagi jika dia harus menghadiri acara keluarga besarnya, tatapan mereka, Endah tak bisa mendefinisikannya, apakah tatapan mengasihani atau menghakiminya.

Dan tampaknya mereka lebih asyik bertanya pada dirinya dibandingkan pada suaminya, setidaknya itu yang dia rasakan.

Pedih hatinya setiap saat dia bertemu dengan mereka yang selalu gigih memberondongnya dengan puluhan pertanyaan, tapi yang dia tampakkan adalah hanya seulas senyum. Bukan dia tidak suka diperhatikan, tetapi apa dayanya dia sebagai manusia untuk menentukan takdirnya.

Manusia memasang alarm setiap menjelang tidur untuk segera bangun pagi di jam yang telah ditentukan meskipun ia tidak tahu apakah ia akan bangun lagi esok hari atau tidak. Semua itu hanyalah karena satu hal, yaitu harapan.
Hanya Harapan yg Endah miliki saat ini .

Hari ini adalah hari terakhirnya di kantor. Keluar dari institusi tersebut adalah salah satu pengorbanan tertinggi dari Endah. Dengan sadar dia melepaskan salah satu identitas dirinya yang dia hargai. Kini, identitasnya berubah, tidak lagi menjadi seorang professional. Dia adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ada kesedihan yang tertinggal di sudut hatinya. Tetapi, dia sudah membuat keputusan itu dengan berbagai macam pertimbangan, sedikit sesal tidak mengapa.

Bergegas dia ke kantor meninggalkan rumahnya kosong karena suaminya akhir2 ini sering tugas luar.
Beruntung dia bisa mandiri menyetir mobilnya. Perempuan Jawa yg manis dan lembut itu lihai mengendarai mobil sport hasil patungan dia dan suaminya. Tak lama sampailah dia di kantornya.

Kantornya membuat sedikit pesta kecil sebagai apresiasi atas dedikasi Endah pada mereka. Hari ini mereka makan besar! Bahkan ada live music performance yg dibawakan beberapa temannya.
Ada penyambutan dan kata-kata perpisahan yg mengalun membawa Endah sesaat kembali ke masa awalnya dia berkerja disana. Dimulai dari posisi yg paling rendah di levelnya untuk kemdian menjadi akuntan senior yg dihormati koleganya. Pencapaian yg sangat bagus jika dilihat dari segi umurnya dan lama pencapaian prestasi.

Di sela-sela menikmati makanannya bersama teman-temannya, tiba-tiba hapenya berbunyi. Dari suaminya, Hendro.
" halo Ma, sedang apa", sapa suara suaminya dengan riang.
"oh, ini kita lagi makan bareng Paa dengan teman-teman kantor, eh papa jadi pulang to besok", balasnya penuh harap. Maklum dia mudah sekali rindu pada suaminya.
"iya ini mau ngabarin kalau belum jadi pulang, masih ada pelatihan tambahan untuk departemen marketing. Dua hari" jawab Hendro.
"oalah....kok gitu" Endah sedikit cemberut, tapi mau dikata apa, suaminya meskipun memiliki posisi jabatannya yang cukup bagus, dia hanyalah seorang pegawai yang harus patuh pada perusahaannya.

Tak lama pembicaraan terhenti dan Endah meneruskan obrolannya dengan teman-teman kantornya sambil sesekali tertawa kecil. Teman-temannya memintanya untuk tetap berkomunikasi dengan mereka meskipun sudah tidak lagi berkerja disana dan mereka berjanji untuk selalu terhubung meskipun hanya melalui grup WA.

Perempuan berwajah sendu dan bersuara lembut itu tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi: apa yang sesungguhnya suaminya lakukan dibelakangnya.

Di Balik PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang