6 - Luka dan Hujan

624 105 3
                                    

/there is so much strength in being fragile/
💠💠💠

Untuk kesekian kalinya, Sheryl menggeleng tak percaya.

"Lo beneran tinggal di sini sendirian?"

"Kamu udah tanya sepuluh kali, Sher," Leon yang kini sedang melarutkan madu di air hangat, terkekeh singkat menanggapi pertanyaan Sheryl.

"Oh, maaf. Gue masih nggak percaya aja. Masa iya, rumah segede gaban gini cuman ditinggalin sama satu makhluk?"

Tadi, Sheryl memutuskan menuruti perkataan Leon untuk bertemu setelah sesi curhatnya berakhir. Awalnya, ia terpikir untuk bertemu di cafe atau apapun asal bukan di rumahnya. Tapi Leon bilang, cowok itu buta jalan. Lucu memang, Sheryl saja langsung berkeliaran tanpa tersesat bahkan begitu sampai di ibukota setelah hampir tiga tahun tinggal di negeri orang. Bagaimana bisa Leon yang sudah dari embrio tinggal di kota ini, masih buta jalan? Akhirnya, Sheryl berusul untuk menemui Leon di rumah cowok itu. Leon sempat menolak beberapa kali karena dirinya menganut faham 'Haram hukumnya perempuan mengunjungi rumah laki-laki lebih dulu. Apalagi kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa'. Jelas saja Sheryl langsung mengejeknya kolot dan menertawakannya habis-habisan.

Namun semenjak memasuki pekarangan rumah Leon, Sheryl tak henti-hentinya menganga takjub. Leon tinggal sendiri di sebuah rumah mewah yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Sedikit tak masuk akal, bagaimana bisa bocah kelas 3 SMA sepertinya sudah dipercayakan rumah sebesar ini? Waktu Sheryl bertanya, Leon hanya bilang ia akan menceritakan semuanya hari ini.

"Duduk, Sher," Leon berpindah ke sofa dekat pantry sambil membawa dua gelas air madu hangat. Sheryl yang sedari tadi mengamati foto-foto masa kecil Leon yang dibingkai cantik di sepanjang dinding ruangan ini, pun menuruti perintah cowok itu untuk ikut duduk di sofa.

"Kok nggak ada foto keluarga lo?" Tangan Sheryl menerima salah satu gelas yang disodorkan Leon. "Thank you. Maaf ngerepotin,"

"Mama, Papa, sama Kakak saya pindah ke LA sejak saya SD,"

Jawaban singkat dari Leon barusan membuat Sheryl menghentikan kegiatan minumnya. "Lo bercanda, kan? Nggak mungkin lo udah tinggal sendiri sejak SD,"

"Memang nggak, kok. Saya tinggal dengan suster, tukang kebun, sopir dan satpam sampai SMP. Masuk SMA, rasanya saya harus belajar lebih mandiri. Jadi mereka hanya datang dua minggu sekali untuk mengecek keadaan rumah atau menengok saya," Leon meletakkan gelasnya di atas meja.

"Ooh..." Sheryl manggut-manggut.

"Saya punya penyakit yang lumayan parah, makanya nggak boleh sampai kecapekan. Kalau capek sedikit, saya bisa mimisan kayak waktu main pecah piring tadi. Itu juga alasan kenapa saya selalu nggak bisa praktek Olahraga. Padahal dulu saya suka banget sama yang namanya basket," jelas Leon. Tatapan kosongnya terpaku pada gelas di atas meja itu. Sedangkan Sheryl kini hanya bisa terdiam mendengar cerita Leon. Dirinya sadar, cowok itu punya masalah yang lebih besar dari masalahnya. Dan hebatnya lagi, Leon bisa mengatasi semuanya sendiri.

"Kenapa lo nggak jujur sama Pak Hadi? Kalau lo jujur, mungkin beliau bisa toleransi dan lo nggak bakal dikasih nilai je—"

"Sheryl," Leon menoleh ketika menyebutkan nama gadis itu, menatap matanya lekat-lekat seraya tersenyum tipis. "Saya nggak mau dikasihani orang lain, makanya itu saya nggak ngasih tahu penyakit saya ke siapa-siapa. Coba kamu pikir. Kalau saya jujur ke Pak Hadi, beliau mungkin bakal mengerti dan berusaha cari cara untuk mengangkat nilai saya. Tapi gimana dengan temen-temen yang nggak tahu? Pasti mereka bakal mikir, kok bisa anak yang nggak pernah ikutan praktek Olahraga tapi dapat nilai bagus di rapot,"

"Tapi tetep aja, Le. Kalau lo terpaksa ikutan praktek dan berakhir drop kayak tadi gimana?"

"Hm... Ya, nggak gimana-gimana. Enak malah! Bisa tiduran di UKS, nggak ikut pelajaran," gurau Leon.

"Bisa urakan juga lo, ya?" Sheryl membalas dengan kekehan. Ia kembali sibuk menyeruput air madu dari gelas hingga isinya kandas, sampai tidak menyadari kalau sedari tadi Leon tidak berhenti menatapnya.

"Hei," panggil cowok itu supaya Sheryl menoleh. "Sebenernya kamu itu yang pertama tahu tentang penyakit saya setelah orang rumah, just for information. Jadi saya harap, kamu juga bisa berbagi senang atau sedih ke saya. Inget, kamu bukan 'sembarang orang' lagi buat saya. Sebaliknya harus gitu juga, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat ngomong. Ya, walau saya nggak janji bakal selalu bantu, tapi seenggaknya curhat bisa bikin kamu agak lega. Jangan selalu berusaha buat kelihatan tegar. I'll hear you,"

Sheryl terhenyak, mematung di tempatnya. Perkataan Leon barusan sukses membuat hatinya bergetar. Laki-laki di sebelahnya itu seperti bukan Leon yang dikenalnya beberapa hari terakhir. Awalnya, Sheryl kira Leon itu seperti sinetron Indonesia yang alurnya mudah sekali ditebak. Tapi nyatanya tidak, cowok itu memiliki berbagai sisi misterius yang belum ditemuinya. Sheryl bahkan tidak menyangka, kata-kata manis dan menenangkan barusan ternyata keluar dari bibir seorang Leon. Walaupun masih percaya tak percaya mendengar ucapan itu, rasanya Sheryl tetap harus berterima kasih. Tapi entah kenapa lidahnya tiba-tiba kelu, mungkin karena gengsi yang sudah dipeliharanya sejak lama.

"Hmm, Le... Maka—"

DUARRR!!

Keduanya berjengit kaget begitu mendengar bunyi petir yang begitu keras. Mereka bahkan tak sadar sedari tadi hujan deras mengguyur di luar sana.

"Saya sampai nggak nyadar kalau di luar hu—" Leon batal melanjutkan ucapannya begitu menengok ke arah Sheryl yang kini meringkuk dengan tubuh bergetar. "Sher, you okay?"

Tawa lelaki itu nyaris saja lepas, namun ia segera tertegun begitu Sheryl mengangkat kepalanya sedikit. Setelah menarik napas panjang, gadis itu menegakkan tubuhnya dan seketika raut wajahnya kembali datar seperti biasa.

"Kamu takut petir?"

"Nggak," Sheryl menyahut cepat. "Gue cuman nggak pernah bisa suka hujan aja,"

"Kenapa?"

"Luka yang kelihatan aja kalau kena air pasti perih, kan? Sama aja kayak luka batin. Gue heran sama orang yang menikmati hujan. I mean, banyak banget masalah yang hujan bisa buat. Bahaya petir, jalanan macet, orang-orang kehujanan, pemadaman listrik. Hujan itu menghambat aktivitas banget. Hujan juga bisa buat memori yang udah mati-matian kita lupain, tiba-tiba keputar ulang. Mending kalau kenangannya baik, kalau malah bikin sakit? Itu yang buat gue benci sama hujan,"

"Itu karena kamu nggak pernah lihat sisi positifnya. Saya kasih contoh, ya. Jalanan yang tadinya banyak debu dan polusi, jadi lebih seger setelah turun hujan. Orang-orang bisa beristirahat sejenak dari aktivitas mereka, melihat rintik hujan yang jatuh sambil menghirup aroma hujan yang menenangkan. Semua terasa hidup lagi setelah hujan datang. Soal kenangan, apa salahnya kalau tiba-tiba kita keingat? Bukannya kenangan ada buat dikenang? Jangan main hakim sendiri, Sher. Hujan nggak salah apa-apa," Leon beranjak dari duduknya, melangkah menuju jendela besar yang kini menyajikan pemandangan hujan yang masih deras. Tangannya bergerak membuka kaca jendela itu lebar-lebar. Seketika aroma tanah yang basah melesak masuk memenuhi ruangan, hingga ke indra penciuman Sheryl. Begitupun dengan hawa sejuk yang dibawa hujan.

"Jangan dibuka, Leon!" Raut Sheryl mendadak pias, mungkin ketakutan.

"Asal kamu tahu aja, bakal lebih menyenangkan berlarian di bawah hujan daripada berteduh dan merenung seperti sekarang," Leon menghela napas panjang. "Sayangnya kondisi saya terlalu lemah buat melakukan hal-hal hebat seperti itu,"

Netra Sheryl mengikuti pergerakan tangan Leon yang kini terjulur keluar jendela, merasakan titik-titik air dingin yang jatuh di atas telapak tangannya. Keduanya terdiam cukup lama, hingga suara Sheryl yang pertama kali memecah hening.

"Leon," panggil Sheryl. Cukup pelan, tetapi berhasil ditangkap rungu Leon. "Makasih,"

"Makasih buat?"

"Buat jadi alasan kenapa gue harus mulai suka sama hujan,"

💠💠💠

full chanseul!1!1!
gimana? suka? semoga suka yaa...
terimakasih selalu buat kalian yg nungguin updatenya pandora
tbc💕

Pandora✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang