Prolog

127 5 3
                                    

I was okay even standing in the rain
Because everything was the traces that you left
Because longing for you is a beautiful pain

Saat itu pertengahan musim dingin. Suhu mulai merangkak turun. Seolah hujan salju tadi malam belum cukup memerangkap Seoul dalam balutan warna putih, cuaca hari itu kembali diprediksi akan dihiasi butiran-butiran salju dari langit.Tidak ada yang berani keluar tanpa pakaian tebal hingga menutup sebagian wajah. Payung berbagai warna dan bentuk menjadi barang yang umum terlihat hari itu.

Benar saja. Hujan salju dimulai selepas tengah hari dengan intensitas yang semakin bertambah saat sore menjelang.

Dengan payung berukuran sedang berwarna biru tua yang terbuka, Jong Hoon berjalan menuju persimpangan. Langkah pria itu terhenti oleh lampu lalu lintas yang masih berwarna hijau sementara lampu untuk penyeberang masih berwarna merah. Ia mengendarkan pandangannya ke seberang jalan. Tumpukan pejalan kaki juga terlihat di arah yang berlawanan.

Beberapa memegang payung. Beberapa mengenakan ear muff. Beberapa menyumpal telinga dengan earphone. Mungkin musik yang up beat bisa sedikit menghangatkan sore yang cukup dingin hari ini. Lagu ballad tentu bukan pilihan Jong Hoon pada saat-saat seperti ini. Suasana musim dingin sudah cukup suram. Bisa-bisa ia terkena seasonal illness kalau mendengarkan lagu-lagu sedih yang menangisi patah hati.

Lalu pandangan pria itu terhenti. Awalnya ragu tetapi kemudian kedua mata sipitnya terbuka lebar. Di seberang sana, seorang gadis dengan rambut yang diikat rapi berdiri. Mantel berwarna abu-abu memeluk erat tubuh gadis itu.

Jong Hoon melirik lampu lalu lintas. Masih ada sepuluh detik sebelum lampu itu berubah menjadi hijau.

Apa yang harus dilakukannya? Berjalan lurus, menyapa gadis itu sekilas lalu melewatinya? Atau berlari ke arah gadis itu dan mengajaknya menikmati secangkir kopi hangat di kafe terdekat? Sekedar saling bertukar cerita. Atau ia justru melewati gadis itu begitu saja? Berbaur dengan keramaian tidaklah sulit. Tiba-tiba saja Jong Hoon berpikir untuk memutar arah saja. Berbelok mengambil jalan yang lain.

Tapi kemudian gadis itu menengadahkan kepalanya sekilas sebelum kemudian mengusap rambutnya. Ah, dia tidak membawa payung. Tidak juga mengenakan ear muff. Jong Hoon mengeratkan genggamannya pada payungnya.

Lampu berubah hijau. Langkah kaki berderap di sekeliling Jong Hoon. Pria itu mengayunkan langkahnya lebar-lebar. Tepat mengarah pada sang gadis yang sepertinya masih berada di tempatnya, mengabaikan orang-orang yang melewatinya. Ponselnya diletakkan di telinganya. Jong Hoon yakin gadis itu tidak memegang benda itu sesaat sebelumnya.

Jantung Jong Hoon berdetak dua kali lebih cepat. Tetapi tidak berapa lama kemudian detaknya kembali seperti semula. Tepat saat gadis bermantel abu-abu itu memutar tubuhnya, melawan arus lalu menghilang di belokan.

Lampu pejalan kaki berubah merah. Jong Hoon telah sampai di seberang jalan. Lalu langkahnya terhenti. Bahkan punggung gadis itupun sudah tidak terlihat lagi. Pria itu mengambil nafas panjang sebelum kemudian menghembuskannya perlahan, menghasilkan uap putih.

Anggap saja ia sedang berkhayal.

Dan iapun kembali meneruskan langkahnya.

The rain falls, dries up and disappears
You can't leave like that alone, please

One More ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang