13 - Kesakitan Abadi

6.2K 1.1K 110
                                    

Lana

Aku membuka kedua mataku perlahan dan mendapati Bara yang sedang tertidur sambil memelukku. Aku tersenyum. Rasanya sangat bahagia. Tadi, sebelum aku benar-benar tertidur, aku merasa kalau Bara mengecup keningku. Suatu hal yang sudah sangat jarang dilakukannya beberapa bulan belakangan ini.

Tanganku terangkat untuk mengusap rambut cokelatnya. Aku kembali tersenyum. Bahkan tidur pun, laki-laki ini masih bisa mempengaruhiku dengan pesonanya.

Saat tanpa sengaja melihat bekas cakaran yang ada di lenganku, gerakan tanganku langsung terhenti. Teringat kembali saat Bara bertanya soal luka yang tiba-tiba muncul di tubuhku saat mandi tadi.

Napasku kembali terasa memberat. Ingatan bagaimana aku berusaha menghilangkan jejak laki-laki itu kembali membayangiku. Saat mandi tadi, yang aku pikirkan hanya bagaimana menghilangkan rasa kotor pada diriku sendiri.

Rasanya menjijikkan. Aku tidak mengenakan apa pun, di depan laki-laki yang berstatus sebagai kakak tiriku.

Mataku langsung memejam kuat-kuat. Telapak tanganku sudah mengepal. Ingatan itu kembali membayang-bayangiku tanpa rasa kasihan sama sekali. Aku menahan napasku. Berusaha mengingatkan pada diriku sendiri kalau saat ini aku harus terlihat baik-baik saja karena ada Bara yang sedang bersamaku.

"Jadi maksud Tami, Rendy coba perkosa Lana?"

"Iya, Tante. Kalau tadi saya nggak datang, mungkin—mungkin—"

"Bener begitu, Lan?"

Aku menahan napasku saat potongan ingatan itu kembali menyeruak. Rasa sakit saat tidak ada yang mempercayai perkataan Tami, bahkan mamaku sendiri tidak berada di pihakku.

Jangan mengada-ngada kamu, Lana. Jangan bikin mama malu.

Aku semakin memejamkan mataku dan tanpa sadar semakin menyurukkan wajahku di dada Bara. Tangan kananku sudah kuletakkan di depan dada, sekadar menahan rasa sesak yang semakin menghimpitku.

Mama kenal Rendy. Dia anak baik-baik.

Dan aku bukan anak baik-baik. Itu yang mungkin sebenarnya ingin mama sampaikan saat itu. Bahkan memar pada tubuhku waktu itu tidak cukup kuat untuk meyakinkan mama kalau aku memang diperlakukan sehina itu.

Kamu sakit apa sih, Lan? Papa nggak bisa temenin kamu sekarang. Adik kamu masih kecil, nggak mungkin papa tinggalin.

Kenapa semua kenangan-kenangan kesakitan yang sudah aku kubur mati-matian itu, justru sekarang seakan sengaja bermunculan tanpa jeda? Kenapa rasanya kenangan itu seperti mencekikku perlahan-lahan?

Aku berusaha menahan air mataku kuat-kuat. Bodohnya, aku mulai kesulitan bernapas.

Lana harus bisa jaga diri sendiri. Sekarang, papa sama mama punya keluarga baru. Pasti jadi agak sulit kalau mau ngurusin Lana juga.

Bukan. Aku tahu maksud mereka adalah menjauh dari hidup mereka secara perlahan. Kedua orangtuaku membuangku saat aku masih memerlukan kehadiran mereka. Bagi mereka, aku hanya anak yang tidak berharga sama sekali. Lalu saat aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran mereka, kakak tiriku justru hampir membuatku semakin merasa tidak berharga. Menjijikkan dan kotor.

Aku merasakan pipiku sudah basah. Air mata yang aku tahan mati-matian tadi, akhirnya terjatuh. Tapi rasa sesak itu belum juga hilang.

Kamu jagain Widi sebentar aja kok nggak bisa sih, Lan?

Tubuhku mulai bergetar. Sekeras apa pun aku menekan otakku untuk berhenti memutar kalimat-kalimat yang selalu aku ingat dalam alam bawah sadar itu, tetap tidak berhasil. Ingatan lewat kalimat demi kalimat menyakitkan itu seakan sudah menempati bagian paling nyata dalam pikiranku.

Headlock [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang