IMAJINASI SIMPSON
Tepuk tangan riuh megiringi kemunculan sang idola baru yang akan menggemakan suara emas miliknya untuk mengguncang panggung. Beberapa wanita, terutama gadis belia terlihat menjerit histeris saat seorang MC menyerukan nama sang idola.
Cody Robert Simpson.
Lampu panggung berebut untuk menyorot Cody. Panggung nampak elegan dengan warna putih, hitam dan biru yang mendominasi yang sudah didesain sedemikian rupa. Hanya ada sebuah piano, gitar dan ukulele diatas panggung. Memang, konsernya kali ini bertajuk konser akustik.
Penonton pun bertepuk tangan setelah Cody mengakhiri lagu pertamanya. Not Just You. Matanya berkaca. Ini adalah lagu dari pengalaman pribadinya. Ditinggalkan wanita yang sangat ia sayangi. Tapi itu masa lalu. Ia tak mau terus-terusan hidup dengan terus digentayangi masa lalunya. Air mata itu ia hempas dengan ibu jarinya.
Dan seluruh lampu di ruangan itu padam. Semua gelap seketika. Suara petikan gitar pun lenyap. Hening.
Seluruh penonton terkesiap saat sebuah lampu sorot berwarna putih bersinar tegak lurus ke bawah menuju sentral panggung. Lalu tampaklah kursi taman berwarna putih dengan, “TAK ADA CODY! DIMANA CODY?!” sayup-sayup terdengar suara kru-kru konser dan orang-orang di belakang panggung menanyakan keberadaan Cody. Anak lelaki itu tidak ada di kursi putih, tempat yang seharusnya ia duduki untuk lagu yang seharusnya ia bawakan juga.
Penonton mulai bergemuruh. Mereka kecewa. idola yang selama ini mereka dambakan hilang begitu saja? Disaat konser tunggal pertamanya? Ini benar-benar gila. Mereka pikir padamnya lampu tadi benar-benar salahsatu rencana konser. Tapi.... bukan.
“KALAU TAK ADA CODY, KEMBALIKAN UANG KAMI!” sesosok gadis belia dengan rambut pendek dan berkacamata berteriak. Lebih tepatnya menuntut secara tidak langsung. Tuntutan gadis belia itu disetujui penonton lainnya. Wajar saja kalau gadis itu menuntut untuk mengembalikan uangnya. Bayangkan, hampir 2 juta rupiah ia keluarkan untuk menonton konser Cody secara langsung. Parah.
Tak ada pilihan lain selain mengembalikan uang para penonton. Para kru pasrah dan mengatur penonton-penonton itu untuk berbaris di depan loket sedangkan para kru masalah keuangan bersiap mengembalikan uang-uang mereka.
Beberapa kru, bodyguard dan keluarga Cody mencarinya di ruangan konser maupun di luar gedung. Tapi tak ada hasil. Cody tak ditemukan. Nihil.
Sementara Cody, berada di sebuah hutan pinus, bersama seorang gadis berambut panjang dan mengenakan gaun biru laut. Angin berhembus lumayan kencang, membuat rambut gadis itu bergoyang.
“kau paham seberapa hebatnya kau merusak hidupku? Digentayangi masa lalu yang tak pernah ada habisnya? Tak bisa dilupakan?” Cody memecah kebekuan yang terjadi di tempat itu.
“kenangan kita dahulu memang tak perlu dilupakan kan? Kau hanya perlu menghapus perasaanmu padaku” gadis itu menjawab. Ia mencoba mengatur dentuman jantung setenang mungkin, tapi tetap saja nada yang pecah di suaranya bergetar.
“as easy as that? Hahaha” Cody tertawa hambar. Menyembunyikan amarah yang 5 tahun ini tersembunyi jauh di relung hatinya.
“ya. Itu akan mudah bila kau berpikir itu mudah.”
“kalau begitu... aku tidak akan berpikir itu mudah.”
“Cody! Tolong! Aku menarikmu kesini hanya untuk memberi penjelasan.......”
“hahaha Alen Alen... kalau kau mau memberi penjelasan tentang alasan hilangnya kau 5 tahun terakhir ini. Aku tidak mau mendengarkannya”
“CODY!” gadis yang diketahui bernama Alen itu menyentak Cody. Cody terkejut mendegar sentakan Alen. Ia tak pernah marah saat mereka masih menjalin.... oh tidak mereka tidak pernah berhubungan. Sebatas dekat saja. Cody tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.