Dalam teori psikoseksual Freud, anak laki-laki pada usia 3-6 tahun secara tak sadar sudah memiliki rasa cemburu terhadap ayahnya. Rasa cemburu itu muncul karena ia merasa bahwa ayahnya telah mengambil kasih sayang si Ibu dari dirinya. Tapi si anak sadar bahwa ia tidak akan mampu merebut ibu dari ayahnya. Oleh karena itu, ia mencari orang lain untuk disayangi. Paham nggak? Sama, aku juga.
Intinya gini, aku mau bilang bahwa: sejak kecil, kita sepertinya sudah mempunyai perasaan suka terhadap lawan jenis. Hanya saja, cara menyampaikannya beda dengan orang dewasa.
Waktu kelas lima SD, aku suka sama Pika, cewek sekelas. Aku suka sama Pika karena suaranya sering dimanja-manjain pada saat lagi ngomong. Suara manja yang aku maksudkan disini adalah suara manja anak-anak, bukan suara manja tante-tante yang sering live di aplikasi BEGO.
Untuk menunjukkan rasa suka sama Pika, aku sering mengolok dia dengan sebutan "Pikachu". Jadi, setiap kali aku ketemu Pika, maka aku akan menjerit, "PIKA ... PIKA ... CHU!" sambil niruin gaya Pikachu pada saat ngeluarin jurus. Bedanya, Pikachu kalau teriak bisa ngeluarin listrik dari tubuhnya, kalau aku: ngeluarin ingus dari lobang hidung.
Setelah diolok seperti itu, biasanya Pika akan mengejarku sambil mengangkat tangannya seolah sedang membawa tombak. Karena aku memang berharap bisa dipukul oleh Pika, maka aku sengaja memperlambat lariku agar Pika bisa menangkapku dan memukulku dengan pukulan manja. Tapi kenyataannya, Pika malah mencubit tanganku sampai berdarah. Saking parahnya cubitan Pika, aku sampai digotong ke UKS.
Sebenarnya Pika juga sering menjahiliku kalau lagi di kelas dengan cara mencoret-coret bajuku. Ia bisa dengan leluasa melakukan hal itu karena ia duduk tepat di belakangku. Bagian yang paling sering ia coret adalah kerah baju.
"Zid ... Zid ...!!!" Pika memanggilku sambil menggoreskan ujung pulpennya di kerah bajuku.
"Apa sih?" aku menarik kerah bajuku dan melihat garis hitam yang memanjang. Aku tau karena tekanan pulpennya kerasa. "Pika, kalau manggil jangan nyoret kerah baju, dong! Kan kotor ni." Kataku sambil memperlihatkan garis hitam yang ada di kerah bajuku.
"Siapa yang nyoret?" bantah Pika. "Liat nih! Pulpenku tintanya macet, tau!" Pika menggoreskan pulpennya ke kertas dan tidak ada sedikitpun tinta yang keluar.
"Lah ini apa?" tanyaku masih dengan memperlihatkan garis hitam di bagian kerah.
"Nggak tau." Pika mengangkat kedua pundaknya.
"Mana?" tanya Kiki, teman sebangku Pika.
"Ini!" kataku seraya menunjukkan kerah bajuku ke Kiki.
"BEGO, ITU DAKI TAU!!!" umpat Kiki.
"Hahaha ...." Pika ketawa. "Jorok, ih."
Pas aku usap-usap, ternyata benar; DAKI. Aku mengelap dakiku ke tangan Pika, "Rasakan!"
"Iiihhhh ... iiiihhhh ...." Pika malah memukul kepalaku dengan pulpen.
Selain mencoret-coret bajuku, ia juga sering mencoret-coret bukuku.
"Zid, pinjam buku dong!"
Karena aku suka sama dia, aku pun meminjamkannya, "Nih!"
"Hiaaaatttt ...." Pika mencoret bukuku dengan brutal.
Aku langsung merampas bukuku, "Ngapa sih?!"
"Seni"
"Seni apanya?" Aku melihat nasib kertas yang dicoret oleh Pika.
"Itu gambar angin tornado, tau!"
"Mirip, sih. Tapi kan nggak harus di buku catatan MTK, Pikaaa ...," kataku jengkel. "Mana coretannya menutupi rumus luas bangun datar, lagi. "Huhh ...." aku melenguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sublimasi Patah Hati
HumorMenertawakan Kisah Patah Hati. Berapa kali kita patah hati? Berapa kali kita jatuh dan tersakiti? Seringnya kita menangis dan menyesali. Mengapa kita takut untuk menceritakannya, menertawakannya dan menjadikannya sebagai penyemangat dalam hidup...