Tamat dari sekolah dasar, orang tuaku menawarkan kepadaku untuk masuk pesantren. Salah satu pilihannya adalah sebuah pesantren di kota Ngabang. Awalnya aku menolak karena aku nggak kuat jauh dari orang tua, keluarga, kampung halaman, teman serta gebetan (yang terakhir hanyalah khayalan bocah semata).
"Kamu setelah lulus SD nanti masuk pesantren ya!" bujuk orang tuaku.
"Nggak .... Nggak .... Nggak mau," jawabku sambil merengek seperti balita yang belum dikasi roti Malkist Abon.
"Kalau kamu masuk pesantren, nanti uang jajannya akan Mamak tambahin."
"Mau .... Mau .... Mau ...." jawabku semangat. Wush .... *dilempar celengan.
Ehm, sejak kecil aku memang udah mata duitan.
Dengan upah yang setimpal itu, akhirnya aku masuk pesantren.
Letak pesantrennya sendiri lumayan strategis, terutama untuk para santri. Gimana nggak? Sisi kanan-kiri sama belakang pesantren masih hutan, lebih tepatnya: kebun karet yang nggak terurus, sehingga masih banyak semak-semak dan tumbuhan liar di sekitarnya.
Dengan kondisi yang begitu strategis, maka santri sering menjadikan hutan di sekitar pesantren sebagai markas untuk melatih jiwa kenakalan mereka, seperti merokok, bolos sekolah, dan bolos ngaji. Para santri juga selalu menjadikan hutan di sekitar pesantren sebagai jalan alternatif untuk keluar tanpa izin; baik itu ke pasar maupun untuk pulang kampung. Astaghfirullah, banyak juga ternyata dosaku di pesantren. *ngelus jenggot.
Karena pesantrennya masih terbilang baru, maka sarana dan prasarananya juga masih sangat minim. Sehingga kegiatan belajar di sekolah, ngaji, dan makan harian masih gabung antara cowok dan cewek. Bagi kami: para santri dan santriwati, hal ini sangatlah menguntungkan. Mengapa menguntungkan? Karena nggak semua pesantren sistemnya seperti ini. Biasanya kalau di pesantren lain, asrama cewek dan cowok dibuat berjauhan agar tidak terjadi fitnah. Misalkan: asrama cowok di Sabang, yang cewek di Merauke. Oke, kayaknya terlalu kejauhan.
Oh iya, satu lagi, karena masjidnya cuma satu, maka aktivitas salat dan belajar malam para santri dan santriwati dilakukan di satu tempat itu juga. Jadi, kondisi ini sangat berguna untuk memperlancar aktivitas surat-menyurat antara santri dan santriwati. Dan yang pastinya surat-menyurat yang ilegal, karena isinya sudah pasti cinta-cintaan. Kalau sempat ada yang ketahuan, maka keduanya akan dihukum pancung. Maksudku: dihukum sambil makan kue pancung. Tapi kalau tidak ketahuan, maka keduanya aman, terutama dari hukuman dunia, kalau dari hukuman akhirat, Wallahu a'lam.
Beda antara tinggal di rumah dan di pesantren lumayan banyak, tapi yang paling terasa yaitu ketika kita diwajibkan bangun sebelum subuh. Kalau alarm sebelum subuh sudah berbunyi tapi kita masih belum juga bangun, maka bersiaplah! Guyuran hujan akan datang menghampiri, alias bakal disiram sama ustadz. Kalau disiram pakai air bersih masih mendingan, bisa sekalian buat mandi junub. Ini disiram pake air comberan, bukannya mandi junub, yang ada malah mandi najis.
***
Salah satu penyakit pesantren yang cukup berat selain kehabisan duit dan gatal-gatal, adalah: HOMESICK. Ada yang bilang homesick bukanlah suatu penyakit, karena dia muncul secara alami dalam diri manusia. Namun dari bahasanya udah jelas kalau dia adalah sebuah penyakit. Soalnya ada kata SICK di dalamnya, yang artinya sakit. Kalau di gabung antara HOME dan SICK, jadinya HOMESICK, artinya: rumah sakit. Gimana? Aku udah keliatan bego' belom?
Bisa dibilang, hampir seluruh santri yang baru masuk pesantren pasti terkena penyakit ini. Penyebabnya bisa banyak dan beda-beda antar individu. Ada yang karena barangnya sering hilang, kemudian jadi homesick. Ada yang yang karena nggak kuat sama aturan, kemudian jadi homesick. Ada yang karena banyaknya jam pelajaran, kemudian jadi musyrik, eh salah, maksudnya homesick. Sampai ada yang karena kehabisan uang jajan, juga bisa jadi homesick, mungkin lebih tepatnya bukan homesick, tapi moneysick.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sublimasi Patah Hati
HumorMenertawakan Kisah Patah Hati. Berapa kali kita patah hati? Berapa kali kita jatuh dan tersakiti? Seringnya kita menangis dan menyesali. Mengapa kita takut untuk menceritakannya, menertawakannya dan menjadikannya sebagai penyemangat dalam hidup...