TUTUP

22 2 5
                                    

Serbuan chat dari Estha memaksaku bangun di pagi buta. Dia tampak amat bersemangat, aku jadi tidak enak hati untuk tidur kembali. Setelah membaca pesan yang tiga perempatnya berisi spam emoji, akhirnya kupaksa diriku mengencani kamar mandi.

Demi merayakan ulang tahun grup kami yang ketiga, Estha mengajak aku, Intan, Via dan Lia mengunjungi salon langganannya. Sudah sejak seminggu lalu ia menyusun rencana ini dengan menggebu-gebu. Pasalnya, Estha baru saja bergabung beberapa bulan lalu. Anniversary pertama dan kedua tidak ia dapat. Itulah mengapa wacana perayaan tahun ini ia anggap sebagai tanggung jawab.

Awalnya kami berempat tidak ingin dia memaksakan diri. Namun, melihatnya begitu bergembira membuat kami tidak sampai hati menolak.

Jadi di sinilah kami, berdiri di halaman salon yang masih sepi berbekal lima kartu VIP. Terpampang label TUTUP di pintu kaca. Namun, Estha tetap memboyong kami semua masuk ke sana.

“Ini hari terakhir salonnya buka,” katanya berseri-seri, “kita dapat tiket VIP!”

Kami memasuki koridor lengang hingga ke ruang tunggu. Meja resepsionis pun tanpa penunggu. Tidak ada tanda-tanda manusia selain kami sejauh mata memandang. Salon ini jelas belum buka.

Via mengerutkan kening, “Gak apa, nih, kita masuk begini?”

Estha mengucap “VIP” seolah itu sudah jelas. Dengan isyarat tangan nan antusias, ia menyuruh kami menjelajahi isi salon seolah milik sendiri.

“Sambil tunggu pegawainya datang,” katanya sembari melangkahkan kaki menyusuri koridor lebih dalam. Ia menyebut ‘kamar mandi’ tanpa suara sebagai isyarat pamit.

Intan menoleh padaku, “Serius nih?”

Aku mengangkat bahu, salon bukanlah domainku. Satu-satunya kesempatanku mengunjungi tempat semacam ini hanyalah untuk potong rambut. Cukup merapikan saja, tanpa model, tanpa gaya, selesai perkara. Nah, jika saja aku dapat memotong rambutku sendiri dengan simetris, tentu aku tidak membutuhkan tempat ini.

Tapi di sinilah kami. Intan, Via dan Lia masih berdiri tanpa berbuat apa-apa. Sebagai anggota tertua, kupikir sudah tugasku untuk mencairkan suasana. Jadi, kubuka lemari pendingin di samping meja resepsionis dan berlagak seolah salon ini memang ‘milikku sendiri’. Kulihat yang lainnya mulai mengikuti.

Intan menyamankan diri dengan kripik asin dari etalase, sementara Via mencari wastafel di dalam. Aku baru ingin menyambar soda, tapi pemandangan Lia yang menyendiri di kursi tunggu membuatku terpaku.

Lia adalah anggota yang bahkan lebih baru daripada Estha. Dia pasti tidak tahu-menahu apa yang harus ia lakukan, dan fakta bahwa ia yang termuda di antara kami jelas membuatnya agak risih.

Aku mendekatinya kemudian menawarinya soda. Lia menggeleng sopan sebagai jawaban.

“Kurang suka,” katanya, “bikin perut saya tidak enak pas lagi lari.”

“Mau kuambilkan yang lain?” tanyaku.

“Tidak usah.”

Aku mengangguk lalu menarik pengait di tutup kaleng soda. Bersamaan dengan itu, teriakan Via dari dalam juga ikut menggema.

Intan-lah yang paling sigap, ia berlari duluan mengikuti asal suara. Aku dan Lia mengikutinya beberapa detik kemudian. Saat sampai di sana, yang kulihat begitu mengerikan hingga napasku tertahan.

Intan tengah memeriksa tubuh Via yang terbaring di lantai. Cairan kental merah melumer dari kepalanya. Kedua mata Via membelalak terbuka, seolah sedang terperangah. Dadanya statis tanpa gerakan, menjelaskan kemungkinan terburuk yang tengah melanda temanku.

Tepat di muka pintu toilet yang setengah terbuka, tampak sebelah tangan Estha terjulur keluar dari sana, berlumuran cairan yang sama.
Lia menjerit ketakutan lalu berlari pergi. Aku berusaha menyadarkan diriku. Jeritan Lia bagai alarm merah, menghasilkan kepanikan. Susah payah kupapah Intan yang masih terguncang kemudian membawanya menuju ruang tunggu.

Kududukkan Intan di samping Lia yang tengah gemetaran. Gadis itu begitu ketakutan, melihatnya seperti itu membuatku tidak tahan. Betul, aku tidak mengerti apa yang terjadi. Betul, aku ketakutan setengah mati. Namun, teman-temanku sedang terpuruk. Sebagai yang tertua, wajib bagiku menjadi sandaran bagi mereka.

Intan menepuk bahuku. Ia menoleh sebentar ke Lia kemudian mengangguk padaku. Betapapun terguncangnya ia, kondisi Intan tidak separah Lia. Dia menyuruhku mengambil minum selagi menenangkan Lia di sampingnya.

Aku patuh saja. Apapun yang terjadi sebenarnya, kurasa hanya Intan yang dapat berpikir jernih sekarang.

“Lia?” sayup-sayup suara Intan bertanya.

Kudengar Lia terisak, “D-darah.”

“Apa?”

BANG! BANG! BANG!

Kejadiannya begitu cepat hingga butuh semenit bagiku untuk mengurutkannya.

Lia berteriak.

Intan jatuh berlutut, kepalanya membentur lantai dengan suara retak menyakitkan.

Kulihat tiga lubang mengucurkan darah dari belakang kepalanya.

Peluru berdesing ke arahku. Lia mendorongku tepat waktu hingga timah panas tadi hanya mengenai bahuku. Dari lorong di mana Via dan Estha tergeletak, muncul seseorang berjubah hitam membawa senapan. Wajahnya bertopeng, meski begitu, aku yakin dia tengah memandangi kami.

Aku refleks menarik Lia, menamenginya dengan tubuhku. Si Penyusup kembali menembaki kami sambil berjalan menuju pintu, menutup akses kabur. Sebelum itu terjadi, aku menarik Lia dan segera berlari.

Kami hampir mencapai pintu kaca yang dilabeli TUTUP. Namun, sabetan peluru di kaki membuatku jatuh. Si Penyusup menghujaniku dengan peluru membabi buta sembari berlari ke arah kami. Dapat kurasakan beberapa bagian di kulitku memanas, berlubang dan berasap.

Aku berusaha menatap Lia, ingin sekali menjeritkan ‘Lari!’, tapi bernapas pun aku tidak mampu.

Lia masih ada di sana. Merapat ke dinding, dengan kedua tangan mengepal. Anak itu pasti ketakutan. Andai ada yang bisa kulakukan. Namun, sekarang aku hanya dapat meringkuk meregang nyawa, melihat teman-temanku dibunuh tanpa tahu apa sebabnya.

Seluruh tubuhku perih, pandanganku mulai mengabur, dan di hela napasku yang paripurna, kulihat Lia menyunggingkan senyum.

“Kerja bagus.”

Si Penyusup melepas topengnya dan terpampang wajah semringah Estha di sana.

.

.

.

TUTUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang