Pertemuan yang tak dinanti-1

164 14 3
                                    

Ainayya Aisyah Zahra, perempuan itu tersenyum kecil dibalik cadar biru yang ia pakai. Matanya menatap geli puluhan pesan yang ia terima, pesan dari salah satu sahabatnya Sabhira Nur Asiyah.

"Udah Sa, stop. Aku gak papa kok. Jadi, belajar yang rajin Sabhira." Terkirim. Nayya kembali memasukan handphone nya kedalam tas. Berjalan menuju masjid, menaiki beberapa anak tangga.

"Kaka, tolongin Nana." Tangga terakhir, Nayya menoleh kebelakang, berucap istighfar karena keterkejutannya. Ia menatap bingung anak kecil yang begitu terlihat menggemaskan dengan gamis pink kebesaran yang ia pakai.

Anak kecil itu perlahan berjalan menaiki tangga, mencoba mendekat ke Nayya.

"Tolongin Nana." Ia memegang erat tangan Nayya, mata sembab nya menatap penuh harap Nayya.

"Kamu kenapa?" Tanya Nayya. Ia berjongkok, menyamakan tinggi nya dengan anak kecil itu. Satu tangan nya terulur menghapus air mata anak kecil itu yang masih berjatuhan membasahi pipi gembul nya.

"Nana gak tau om Nana dimana. Tadi, Nana lali-lali keliling masjid. Telus, waktu Nana balik, om Nana udah gak ada." Dengan menangis sesenggukan, Nana, anak kecil itu masih mencoba menjelaskan dengan rinci apa yang ia alami. Jujur, bukan nya Nayya merasa iba. Tapi, justru ia bertambah gemas dengan Nana.

"Jangan nangis lagi." Nayya tersenyum lembut, mengusap pipi Nana, menghapus bulir-bulir air mata yang masih saja berjatuhan. Mungkin, semakin bertambah.

"Ayo, kita cari." Ucap nya dengan menggandeng tangan kecil Nana.

Mereka berdua berjalan mengelilingi setiap sudut masjid, bertanya kepada orang-orang yang kebetulan juga sedang berada di masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.

Sungguh, Nayya bingung. Dimana om nya Nana? Apa dia tidak ingat dengan keberadaan Nana? Setiap sudut masjid yang ia cek, tidak ada satupun tanda om nya Nana sedang berada disitu. Laki-laki itu seperti tidak sadar telah meninggalkan keponakan nya sendiri disini. Mungkin, ini semua juga bukan kesalahan nya. Tapi, apa ia benar-benar melupakan Nana disini.

"Mau duduk?" Tawar Nayya lembut, ia sempat melihat wajah lelah dari gadis kecil itu. Ya Allah, kemana om nya ini?. Kalau saja Nana ingat alamat rumahnya, ia pasti akan mengantar pulang gadis kecil cantik ini. Dan kalau saja, Nana ingat nomor orang tua ataupun om nya itu, ia pasti akan dengan cepat menelpon.

"Kalau om nya Nana nyaliin, gimana?"

"Dia pasti liat kamu kok." Nayya mengusap pucuk kepala Nana sayang. Ya Allah, Nana yang masih kecil pun sudah memakai hijab dikepalanya. Apa daya kita yang sudah berumur, tapi tak memakai hijab yang sepantasnya untuk muslimah, tidak kah malu? Tidak kah takut akan dosanya? Balasan yang akan diterima nanti?.

"Kaka boleh tau nama panjang kamu?" Nana menolehkan kepalanya, mengangguk kecil lalu tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi susu nya yang putih.

"Ina Asyifa" Nayya tersenyum, ia mengusap pipi gembul Nana, gemas.

"Bagus namanya." Puji Nayya.

"Kaka?" Nayya mengangkat satu alisnya.

"Mau tau?" Nana mengangguk-nganggukan kepalanya antusias, ia penasaran.

"Ainayya Aisyah Zahra."

"Bagus namanya." Nana dan Nayya tertawa bersama, entah apa yang lucu. Orang-orang disekitar masjid pun ikut menatap mereka bingung, bahkan ada yang terang-terangan menatap mereka kagum dan mengatakan bahwa mereka benar-benar harmonis sebagai keluarga.

Nayya mendongak keatas, menatap langit yang mulai menguning. Lalu kembali menoleh, menatap cemas Nana. Dia bersyukur, Allah mempertemukan Nana dengan dirinya. Ia takut kalau bukan dia, lalu siapa? Segala kemungkinan buruk menghantui dirinya.

Takdir AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang