Ngaji #1

124 11 17
                                    

Semua cerita di sini bersambung. Jadi, baca cerita sebelumnya jika anda belum membacanya!

Di pesantren, aku hanya berteman akrab dengan beberapa orang saja. Mereka adalah Agus, Dedi dan Wahyu. Agus orangnya polos dan paling bisa buat kami tertawa, walaupun sebenarnya lebih sering ngeselin sih. Kalau Dedi, ia anaknya humble, kalem dan nggak pelit. Sementara Wahyu, walaupun agak judes, tapi dia yang paling dewasa dan logis pemikirannya diantara kami bertiga.

Kami bereempat menempati kamar yang diberi nama Umar bin Khattab. Keberadaan kami di kamar Umar bin Khattab sebenarnya kurang pas. Sebagaimana kita tahu, Umar adalah sosok yang tegas dan pemberani. Sementara kami bereempat (Aku, Agus, Dedi dan Wahyu) adalah kumpulan bocah yang masa depannya masih belum jelas. Oleh karena itu, di pesantren inilah, perjalanan untuk mencari kejelasan identitas itu dimulai. Tetdenggggggg.... (curios backsound).

***

Salah satu pelajaran khas di pesantren adalah mengaji dan belajar agama. Di awal masuk, tidak semua santri bisa membaca Alquran. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang keluarga yang tidak peduli dengan pendidikan agama si anak, guru ngaji sewaktu di kampung masih amatir sehingga ilmu qiraatnya masih kurang, bisa juga karena si anaknya sendiri yang sering malas ngaji, atau bahkan karena orang tua kebanyakan naburin micin di sayuran sehingga daya pikir anak melemah. Nah, yang terakhir itu berdasarkan pengalaman pribadi.

Menurut informasi yang ada, kelompok ngaji untuk santri baru nantinya akan dibagi menjadi lima kelompok: A, B, C, D dan E. Pembagian tersebut diurutkan dari yang paling bagus sampai yang paling buruk. Kelompok A: sangat bagus. B: lumayan bagus. C: sedang. D: kurang bagus. Dan kelompok E: parah abis.

Seperti biasa, karena kami masih junior, kamar kami sering didatangi oleh para senior. Biasanya mereka datang untuk memberi informasi mengenai rahasia-rahasia pesantren yang belum banyak diketahui oleh para junior seperti kami. Kalau beruntung dan pandai merayu, mereka bisa keluar dari kamar dengan sebungkus mi instan atau sesachet energen sereal.

Salah satu senior yang sering datang ke kamar kami bernama Atong. Tubuhnya pendek, tapi berisi. Kalau main bola, posisi favoritnya di sayap kanan, nggak penting juga, sih.

"Pokoknya kalian jangan sampai masuk kelompok E!" seru Atong.

"Emang ada apa dengan kelompok E?" tanya Wahyu.

"Soalnya yang ngajar di kelompok E itu ustadz Malik," sahut Atong dengan nada mengancam. "Ustadz Malik," lanjutnya dengan mata melotot. "Kalau dia mukul, bener-bener mukul." Atong mengepalkan tangannya.

"Hiattt......." Atong teriak sambil memperagakan tendangan dan pukulan, seolah ia sedang berperan menjadi ustadz Malik. Bukannya mirip ustadz Malik, yang ada malah mirip Boboho kesetrum listrik.

"Ustadz Malik sudah menghukum ratusan santri," katanya lagi. "Ada yang dipukul, dirajam, disetrum, dipancung...."

Oke, sepertinya si Atong udah mulai ngarang cerita, akhirnya santri baru bubar, Atong disepak ke luar kamar.

***

Untuk menentukan kelompok, para ustadz dan beberapa senior mengetes kemampuan kami dalam mengaji. Sebelum di tes, penguji terlebih dahulu melakukan sedikit wawancara.

"Nama?" tanya seorang senior bernama Iwan. Tampangnya sangar dan kulitnya agak hitam. Dialah senior yang menyita majalah ramalan bintang milik Agus pada cerita sebelumnya.

"Nama saya Ahmad Yazid."

"Biasa dipanggil?"

"Jarang ada yang manggil."

Sublimasi Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang