Ngaji #2

79 11 3
                                    

Cerita ini adalah lanjutan dari cerita sebelumnya.

"Kalian mau tau cara agar mulut kalian terbuka lebar saat melafalkan huruf hijaiyah?" Atong, sang senior membagikan tips kepada kami mengenai cara membiasakan mulut agar kebuka, seperti yang diinginkan ustadz Malik.

Kami bereempat: Aku, Wahyu, Dedi dan Agus mengangguk.

Atong mengambil sebuah buku tulis, kemudian ia menggulung buku tersebut, "Coba masukkan gulungan ini ke mulut kalian!"

Agus yang paling pertama mencoba.

"Tahan sampai sepuluh detik!" Atong menatap Agus bak seorang pelatih sepakbola.

"Ogh ... Ogh ...." Agus meronta.

Atong segera mencabut gulungan buku yang berada di mulut Agus.

Agus mengelus-ngelus pipi dan gerahamnya. "Astaga, hampir keram pipiku."

"Gimana, ada perubahan kan? Coba sebutkan: A, Ba, Ta!" seru Atong.

"A ... Ba ... Ta ...."

Suara Agus terdengar lebih lantang. Mulutnya juga lebih terbuka saat melafalkan tiga huruf tersebut. Aku, Dedi dan Wahyu merebut gulungan buku dari tangan Atong, kemudian menjajalnya secara bergiliran. Saking takjubnya melihat perubahan yang diperlihatkan oleh Agus, kami bertiga sampai lupa bahwa gulungan yang kami coba secara bergiliran itu telah basah oleh air liur Agus.

Setelah kami sadar akan kejorokan kami bertiga, akhirnya kami menggulung buku milik kami sendiri.

Memasukkan gulungan buku ke mulut, kami lakukan secara rutin: tiga kali sehari seperti minum obat. Bahkan untuk hasil yang lebih maksimal, Agus mempraktikkannya sambil berangkat ke sekolah. Ekstremnya lagi, ia bahkan sarapan dengan gulungan buku di mulut, sehingga makanan yang masuk langsung menuju tenggorokan tanpa proses kunyah terlebih dahulu. Semenjak kopiahnya melayang akibat lemparan sendal dari ustadz Malik, kejiwaannya memang agak sedikit terguncang.

Dengan mulut yang lebih terbuka dan suara yang lantang, ustadz Malik tidak pernah lagi memarahi kami masalah mulut terbuka atau tidak. Jadi permasalahan ini sudah selesai. Yang masih menjadi masalah adalah makharijul hurufnya. Ustadz Malik menyarankan kami untuk belajar lagi dengan senior di waktu luang.

***

Di suatu siang kami bereempat mengendap-ngendap menuju kamar senior untuk belajar Iqra' kepada mereka. Sebelum masuk, kami mengintip dari jendela, memastikan bahwa kami akan diterima dengan senang hati dan mendapatkan jaminan kemamanan.

"Woiy, ngapa ngintip-ngintip?!" Salah satu senior mengetahui tindakan kami.

Karena sudah terlanjur ketahuan, kami bereempat masuk dan saling mendorong satu sama lain. Dari aksi saling dorong tersebut, Agus yang terlempar paling jauh.

"Mau belajar ngaji Bang," kata Agus.

"Sini! Sini!" perintah salah satu senior yang berada di pojokan. "Haaa ... kalian ngaji sama aku!" seru senior itu kepada kami bereempat.

Sepertinya ia senior yang paling ditakuti. Buktinya tidak ada senior yang berbicara setelah itu.

Agus melonjak penuh kegembiraan. Sementara Aku, Dedi dan Wahyu mulai curiga.

Senior itu membuka bajunya dan menelungkupkan badan. "Pijet dulu Abang ni! Abis itu baru ngaji." Ia tersenyum, kemudian terpejam. "Oh ya, lupa." Ia kembali terbangun. "Boy, Boy ...." ia memanggil salah satu temannya. "Tolong ambilkan balsem di lemariku!"

Temannya menurut seperti babu. Sepertinya senior yang akan kami pijat ini adalah rajanya senior.

Agus kebagian memijat kepala. Wahyu memijat tangan. Dedi memijat kaki. Aku malah kebagian wilayah yang paling luas, yaitu badan.

Sublimasi Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang