Responsible (1/1)

57 16 13
                                    

Deru kipas angin membuat aktivitas cowok berseragam putih abu-abu itu semakin nyaman. Di dalam perpustakaan yang sepi ia menyandarkan kepalanya ke tembok sambil memejamkan mata tenang. Sayup-sayup ia masuk ke alam mimpi, hingga sebuah suara pintu dibuka kasar memecah ketenangan cowok itu.

"AL! Ghani sama Stevan berantem lagi di kelas, kali ini masalahnya lebih serius" seorang cowok dengan nafas tersenggal mengatakan itu kepada Alvaro Si Ketua Kelas XI IPS 2.

"Huh! Mereka lagi, lo aja deh yang kesana. Seminggu yang lalu gue udah pecahin masalah mereka dan sekarang giliran elo, Daf" jawab Alvaro sekenanya.

Daffa hanya menggerutu, "tapi lo kan ketua kelas, Al"

"Tapi lo juga wakil ketua kelas" Alvaro membalik ucapan Daffa.

Akhirnya Daffa yang mengalah, ia pergi meninggalkan Alvaro yang memejamkan matanya lagi. Bagi Daffa, Alvaro adalah sosok siswa teladan yang menyebalkan.

***

"Minggir Al! Gue beneran gak mau" bentak cewek itu kepada Alvaro. Ia adalah siswi pertama di sekolah yang terang-terangan menolak Alvaro, tak seperti siswi lain yang justru tergila-gila padanya.

"Ini 'kan perintah Bu Fatma, Len. Beliau nyuruh gue satu tim sama elo buat olimpiade IPS minggu depan" terang Alvaro sambil menahan Alena untuk tidak meninggalkannya di koridor kelas XI.

Alena berdecak, sejujurnya ia benci segala hal yang berhubungan dengan Alvaro. Namun terpaksa ia melakukan ini.

"Oke, pelaksanaannya kapan?" tanya Alena yang mampu menimbulkan binar semangat dari mata coklat Alvaro.

"Nanti gue kabarin dan sekarang kita makan bar..."

Belum selesai Alvaro melanjutkan kalimatnya, Alena sudah pergi meninggalkan koridor kelas XI. Baru beberapa langkah, Alena terhenti ketika mendengar ucapan Alvaro, "Kenapa lo selalu menghindar dari gue, Len? Asal lo tahu semakin elo menghindar maka semakin cepat gue berlari mendekat. Lo benar-benar beda Alena" 

Asal lo tahu, Al. Gue gak akan menjauh jika lo tetap diam. Gak perlu mengejar jika pada akhirnya itu akan merubah elo.
Sayangnya kalimat itu tidak bisa meluncur dari mulut Alena, ia terlalu kelu untuk mengungkapkan itu.

Melihat Alena bungkam, Alvaro pergi meninggalkannya. Meninggalkan bukan berarti membenci, karena sejatinya Alvaro tidak pernah membenci Alena sekalipun perempuan itu telah menyakitinya.

"Alvaro!" Lamunannya buyar ketika seorang guru memanggil dan menyuruh Alvaro mendekat. 
"Ada apa, Pak?" tanya Alvaro.

"Ini ada tugas buat kelas kamu, halaman 79 dikerjakan nanti kumpulkan di meja saya" jelas guru tersebut.

"Baik, nanti saya sampaikan. Mari Pak" Alvaro mengangguk ramah kepada gurunya lalu melangkah menuju kelas XI IPS 2.

"Ada tugas, Al?" tanya Nira saat mendapati Alvaro membawa kertas catatan.

"Ada, tugas Geografi halaman 79. Nanti ngumpulin ke Daffa ya" ucapnya kepada semua siswa sekelas.

"Kenapa gak elo aja sih, Al. Gue mana tahu nanti tugasnya di taruh mana?" protes Daffa.

"Yaelah, tinggal kumpulin di mejanya Pak Rudi aja" jelas Alvaro kemudian melangkah menuju bangkunya untuk tidur.

Meskipun Alvaro suka semena-mena, teman sekelasnya tak ada yang berani untuk menegur atau melaporkan ke wali kelas.Membenci Alvaro sama saja dengan menantang adu debat kepada guru. Karena seolah semua guru menatap Alvaro sebagai murid teladan, cerdas, sopan, dan ramah sehingga sejak kelas 10 ia mendapat amanah untuk menjadi ketua kelas, sebuah tanggung jawab yang paling dibenci Alvaro. Maka dari itu ia sering melimpahkan tugasnya kepada Daffa.

Saat sedang tertidur pulas di atas bangkunya, sebuah tangan menggoyangkan lengan Alvaro pelan. Ia mengerjap demi melihat siapa yang dengan lancang membangunkannya.

"Ya ampun Alvaro kamu capek banget ya sampai ketiduran begini, makanya kalau belajar jangan sampai larut malam" ucap guru tersebut sambil terkekeh pelan.

Semua orang sekelas tahu, jika yang tidur bukan Alvaro pasti tidak akan diperlakukan sebaik itu.

***

Alena menangis.
Ia adalah alasan mengapa Alvaro rela bolos pelajaran kali ini. Pasalnya, saat Alvaro izin ke kamar mandi ia melihat Alena tengah berlari dari ruang konseling menuju kelas XI IPS 1.

Tanpa berpikir panjang, ia memasuki kelas itu dan langsung menarik Alena keluar. Bisa ia lihat mata gadis itu membengkak hebat, pipi putihnya memerah, bahkan rambut kucir kudanya sangat berantakan.

"Ada apa, Alena?" tanyanya lembut, sambil merapikan anak rambut Alena yang berantakan. Masa bodoh dengan siswa yang lalu-lalang di koridor, karena bagi Alvaro, Alena adalah segalanya.

PLAK!!

Sesuatu yang tidak Alvaro harapkan, tiba-tiba Alena menampar pipinya keras diiringi tangis Alena yang pecah.

"Ghani dikeluarin dari sekolah ini dan lo cuma bisa diam, teman sekelas macam apa lo, Alvaro?! Lo cuma diam saat guru-guru mengatakan Ghani salah, cuma Daffa yang belain dia mati-matian padahal seharusnya itu tugas lo. Semua guru tunduk sama perkataan lo" ucap Alena menggebu-gebu. Sorot mata tajamnya menatap mata coklat Alvaro lekat.

Alvaro tersenyum miring, "Oh, jadi lo suka sama Ghani Si Cowok urakan itu?"

"Dia saudara kembar gue, puas lo udah bikin dia keluar?!" balas Alena telak.

Alvaro tercekat, andai ia bertanggung jawab atas Ghani selama ini. Ia memang siswa brandal yang sering bolos dan hobi berantem. Tapi sebagai ketua kelas Alvaro hanya bungkam tak mau peduli, membelanya pun tidak pernah. Bahkan ketika Ghani dituduh pecandu narkoba pun Alvaro hanya membiarkan. Hingga akhirnya cowok itu resmi drop out dari sekolah ini karena menghajar Stevan beberapa hari lalu. Andai saat itu Alvaro melerai keduanya dan mengatakan bahwa selama ini Ghani tidak bersalah. Stevan yang selalu meminta Ghani untuk menemaninya bolos pelajaran dengan ancaman ia akan menyakiti Alena, saudara kembar Ghani. Dan puncaknya adalah beberapa hari lalu, dimana Ghani naik pitam karena ancaman Stevan.

"Gak usah sok merasa bersalah" sinis Alena.

"Gu..gue minta maaf"

"Bagi gue lo itu pengecut, Al. Alasan kenapa gue gak suka sama lo adalah sifat lo yang kayak gini, suka lempar tanggung jawab ke orang lain, bermuka dua, dan seolah lo bisa membeli perhatian semua orang lewat kesempurnaan yang lo punya. Tapi bagi gue hati lo gak sempurna, bahkan jauh dari kata sempurna" ucap Alena penuh penekanan.

"Lo beda dari Alvaro yang gue kenal dulu, lo gak perlu jadi orang yang berprestasi dan populer di sekolah ini demi dapetin hati gue. Lo hanya perlu memperbaiki diri, Al. Belajar tanggung jawab" lanjut Alena panjang lebar. Matanya masih menyiratkan kekecewaan, tapi tak bisa dipungkiri hatinya lega setelah mengatakan ini kepada Alvaro.

"Gue mau belajar, Len. Belajar tanggung jawab dan merubah sifat gue" jawab Alvaro. Matanya sama-sama menyiratkan kekecewaan, kecewa pada dirinya sendiri yang semudah itu melalaikan taggung jawab.

Pertanyaan Alvaro terjawab sudah, tidak semua perempuan mudah dibeli hatinya dengan kepopuleran dan kekayaan, kadang yang mereka butuhkan itu sederhana, seperti tanggung jawab misalnya?

END

Hai! Makasih udah baca.
Sedikit curhat ya, hehe. Jadi cerita ini terinspirasi dari kejadian di sekitar aku. Dimana sekarang ini banyak cowok yang merasa bahwa populer, cerdas, dan kaya bisa dengan mudah menaklukan hati cewek manapun*eaa..
Tapi anggapan itu salah besar, nyatanya semua hal itu gak akan membuat seorang cewek tunduk. 

Sebenarnya cowok semacam Alvaro itu ada dan banyaaak banget. Dan asal kalian tahu (khususnya cowok) sikap semacam Alvaro inilah yang bikin gebetan kalian ilfiel.

Dah curhatnya itu aja, hehe. Sekali lagi terimakasih yang udah baca, see you!

ResponsibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang