Rona jingga bergelanyut manja dalam dekap sang dirgantara. Megah dalam kesucian yang dicipta sanga kuasa. Binar bahagia bersarang dalam detikan terakhirnya menuju peraduan. Rasa puas ketika berhasil membuat satu sosok disebut manusia terpayungi dalam setiap langkah.
Namun di sudut sana, seorang gadis termenung dalam kerumunan orang-orang yang perlahan beranjak menaiki kuda besi untuk pulang ke tempat mereka berlindung. Ia tetap berdiam dalam sepi yang perlahan mengikis rasa suka dan tergantikan lara mendalam. Tak lain tak bukan, sosok itu baru saja merasa kehilangan yang teramat menampar sukmanya. Harapannya pupus tatkala orang yang selalu berada dibelakangnya ketika gelap membelenggunya meninggalkan segala rasa sakit pada keegoisan sang kuasa. Iris cokelat yang selalu menatapnya penuh kasih itu di detik ini terpejam erat tanpa mau melihat sakitnya dunia yang ia rasa.
Hembusan angin seolah membelai dirinya agar tak larut dalam lara itu. Namun yang ia rasa justru sebaliknya. Semakin lirih semilir itu menari diatas wajahnya, semakin tertancap pula kenangan yang entah harus dikatakan indah atau justru sebaliknya. Sorot mata penuh harap sekaligus pedih itu tetap menatap pada kusamnya jalan di sebrang sana. Haruskah ia beranjak atau tetap bertahan dalam kebisuanya dalam harapan? Belum usai ia berpikir namun netranya telah menangkap sepasang sepatu tepat di depan kakinya berpijak pada tanah.
Tidak, tidak akan dibiarkannya ia tenggelam dalam kepedihan itu sendirian. Sang pemilik sepatu itu megulurkan tangan sebagai tumpuannya berdiri pada luasnya tanah pijakan mereka. "Apa kau akan terus seperti ini hingga ia menyesal telah berpulang untuk bertemu pada sang pencipta? Apa kau akan membuatnya terus mengkhawatirkan dirimu yang bahkan sudah ia persiapkan masa depannya? Apa kau akan membiarkan ia pergi dengan segala rasa sesal di hatinya saat ia telah memilih keputusan untuk menemui tujuan terakhirnya bahkan ketika ia terlahir kali pertama pada dunia yang bahkan tak berharap padanya?" suara itu, suara yang mampu membuat sebuah kepala dengan manisnya mendongak agar netranya dapat menangkap bayangan yang tersampaikan ke otaknya.
Senyum getir yang ia tunjukkan seolah menunjukkan bahwa ia tak mampu menghadapi semua itu. Keegoisan yang menghantuinya selama delapan belas tahun hidup hanya dapat membawanya dalam kehancuran secara perlahan. Sikap yang tak pernah ia perbaiki pada sosok yang bahkan rela tak menyuapkan bulir nasi demi seserat roti yang gadis itu inginkan. Perlakuan yang membawanya pada penyesalan ketika sosok yang selalu menjadi payungnya ketika panasnya hujan menerpanya itu menyerah dan memilih bertemu dengan sang kuasa.
Betapa bodohnya ia, yang bertahan dalam keegoisan yang justru menjadikan dirinya hancur perlahan-lahan namun pasti. Arus kehancuran itu telah ia rasakan. Hingga akhirnya hanya raungan tangis yang dapat ia perlihatkan kepada dunia sumber ia menghirup oksigen. Ia sadar, bahkan terlalu paham bahwa raungannya akan berakhir sia-sia ketika sosok itu telah menyerah menghadapi dirinya yang selalu tak memperdulikannya. Bukan, bukan harapan agar ia kembali ke sisinya. Ia justru bersyukur ketika ia memilih jalan itu dan mengabaikan segala permintaan konyolnya. Ia bersyukur ketika sosok itu memilih berbahagia dengan penciptanya disana.
"Hey lihat aku! Yang perlu kau lakukan itu hanya merelakan dirinya berbahagia dengan pilihannya di sana. Lihat dirimu, dengan keadaanmu yang sekacau ini, apakah ia akan berbahagia di sana? Berpikirlah, kau sebagai sumber kebahagiaannya di dunia ini ataupun di dunia yang ia pilih sekarang." Lagi, untaian kalimat penarik kesadarannya untuk kembali. "Ibu! Kenapa aku tak pernah berperangai baik padanya? Mengapa? Mengapa aku hanya termakan berbagai ke egoisan? Mengapa aku hanya mengikuti arus keserakahan dunia? Mengapa tolong katakan padaku mengapa? Aku tak ingin ia kembali kesini dan merasakan segala rasa sakit yang kuberikan. Tidak, bukan itu yang kuinginkan. Akan ku biarkan ia bahagia dengan seseorang yang lebih baik disana, namun apakah aku pantas untuk segala rasa sakit yang pernah ia rasakan selama ini?"
Kenyataan ini sungguh membuatnya sesak. Liquidnya kembali menghangatkan kedua netranya. "Bagaimana aku akan melanjutkan hidup ketika aku sudah terlanjur basah dalam hitamnya lubang penyesalan?" karena yang ia pikirkan saat ini hanyalah ketika sang ibu menyatu dalam tanah untuk selamanya dan ia tak dapat menatap sorot sendunya itu. Bahkan raungan itu sekarang semakin menjadi nyata. Raungan yang menariknya dalam dekap hangat sosok yang bahkan sudah menyatu dalam dinginnya dan kotornya tanah. Sosok itu mendekap erat dan lembut sembari membisikkan beribu kata sayang dan bujukan agar putrinya lekas bangun dari tidur paling melelahkan dan menyakitkan itu.
"Sayang ada apa denganmu hm? Ayo buka matamu itu dan lupakan apa yang terjadi dalam mimpimu itu!" perlahan meski berat, kelopak itu terbuka dan masih menyisakan segala macam sorot takut di dalamnya. Netra itu hanya terpaku pada sosok yang kini sedang mendekapnya erat. Sosok yang menghilang sesaat dalam kehidupannya. Sosok yang baru ia sadari menjadi pusat dunianya selama ini. Lantas tangan yang rapuh itu mendekap erat wanita yang menghilang beberapa menit yang lalu. Tak ada niatan untuk menyuarakan apa yang tadi dirasakannya dan justru dekap erat sebagai balasannya. Karena itu sebagai pelajaran baginya yang tak pernah berusaha sebaik mungkin dengan rasa tulus pada malaikat di hadapannya ini. Ia ingin memperbaiki apa yang telah dilakukannya. Ia berfikir bahwa selama ini ia terlalu sering mengabaikan berbagai kecup sayang dari sang Ibunda itu. Maka dari itu ia ingin berubah demi ibunda. Waktu tak bisa ia prediksi. Karena bahkan mungkin ia tak dapat merasakan dekap hangat tersebut untuk beberapa waktu ke depan. Memori ini akan selalu ia beri perekat dengan tujuan tak pernah terlepas dari dalam benaknya.
YOU ARE READING
Waktu
Short Storykarena ketika waktu itu tlah bergulir, kau hanya dapat menjalani apa yang tlah hadir di hidupmu saat itu