-John P.O.VSesuai janji David, malam ini pukul 19.00 aku sudah menunggunya di kafe. Kafe ini sangat riuh. Tidak ada suasana kedamaian. Suara dentingan gelas dan suara suara itu sangat mengusik telingaku. Untuk mengatasi hal itu, aku dan gitar tua ku ini pun melantunkan sebuah nyanyian yang petang tadi baru kubuat. Imagine.
Saat aku memetik senar gitar ku, Sedetik kemudian, Kafe itu tiba-tiba hening. Hanya terdengar suara gitar dan suaraku. "You may say... I'm a Dreamer..."
Dan kini aku menjadi pusat perhatian. Sembari mengenakan gitar, aku terus bernyanyi.
"But I'm not the only one""I hope someday... You join us"
"And the world Will be as one"
"Kyaaaa! Itu keren sekali!" Seru perempuan yang ada di meja sebelah ku. Perempuan pirang itu bertepuk tangan sangat keras. "Aku sangat mengagumimu." Katanya.
Tepuk riuh pecah di kafe itu. "Terimakasih" ucapku agak malu. Ini adalah kali pertama aku bernyanyi di depan banyak orang. Semoga, mimpiku yang ini akan terwujud.
"Hai John, apa aksimu tadi sampai suasana hangat seperti ini?" Ucap seseorang dari belakang. Oh David, Akhirnya!
"Ah tidak, aku hanya melantunkan sebuah lagu." Jawabku singkat.
Aku melirik kearah sebelah David. Seorang lelaki putih itu tersenyum padaku. Kesannya, ia seperti orang penting. Kalau dilihat dari pakaiannya, dengan kemeja, jas, dan celana hitam itu, ia seperti orang bangsawan. Ditambah ia membawa gitar sepertiku. Kesannya terlihat lucu. Seperti orang sibuk yang sedang mencari kesantaian.
"Oh, em. Ini lho John yang tadi ku maksud, dia adalah Paul Mccartney." Ucap David memperkenalkan pria itu.
"Hei, saya John wenston Lennon" ucapku agak berbahasa Formal.
"Berbahasalah dengan santai. Aku Paul McCartney" ucapnya tersenyum sambil menjabat tanganku.
"Oh, maaf. Kau seperti orang penting. Jadi ku fikir kau seorang bangsawan." Jawab ku.
"Memang benar John. Ayah Paul adalah seorang bangsawan. Tapi Paul setara dengan kita. Hanya penampilannya saja." Ucap David.
"Ya, benar" ucap Paul tersenyum manis.
"Oh, begitu." Jawabku.
"Hai John, aku sudah tau banyak tentangmu dari David. Dan aku dengar, kau mempunyai mimpi yang sama sepertiku." Ucap Paul.
"Benarkah? Apa kau bersependapat dengan ku?" Tanya ku antusias.
"Ya. Aku bermimpi ingin mempunyai band yang terkenal." Ucap Paul tersenyum kosong. Apa maksudnya?
"Oh, ya?" Sahutku ragu.
"Tapi ku rasa itu tidak mungkin" ucapnya lagi.
"Kenapa?" Tanya ku.
"Karena ayah pasti akan melarang ku." Ucapnya. Spontan, wajahnya menjadi murung.
"Ayolah, Paul. Kau coba dulu mendalami bakat mu. Pasti impian kalian akan terwujud" Ucap David yang sedari tadi hanya memperhatikan kami.
"Semoga saja." Ucap Paul.
"Ku harap kau tidak menyerah Paul." Ucapku.
"Ku harap juga bagitu." Jawab Paul gelisah.
"Oh, ya. Kalau kita ingin punya Band, tentu anggotanya jangan kita berdua saja. Aku punya kenalan, namanya George Harrison. Dia tetanggaku. Kemarin, dia baru saja dapat predikat penggitar terbaik di Inggris. Mungkin kita bisa menawarkannya" Ucapku bersemangat. Mencoba membuat Paul untuk tidak menyerah. Ternyata usaha ku berhasil. Paul kembali bersemangat.
"Begitu dong, sku harap usaha kalian tidak sia-sia ya, selamat berjuang." Ucap David tersenyum bangga. Sebenarnya aku ingin juga David menjadi anggota Band kami, tapi sayangnya ia tak berniat memperdalami musik.
"Tapi John, kita belum tahu apa nama Band kita?" Ucap Paul.
Aku berfikir "Besok sore kau ada acara Paul? Jika tidak, kita akan mencari nama Band kita di tempat yang rindang dan damai." Ucapku akhirnya.
"Em, aku tidak ada acara. Baiklah, aku setuju. Tapi John mengapa kau memilih tempat yang rindang?" Tanya Paul.
"Karena tempat yang rindang adalah tempat dimana otak dan hati berkolaborasi." Ucapku tersenyum.
Paul setuju dengan ku. Berbeda halnya dengan David. Ia selalu tertawa jika aku berbicara indah seperti itu. Menurutnya mungkin itu sebuah lolucon, tapi sebenarnya itu bukan lolucon. Memang benar, setiap petang aku ke ladang rumput adalah untuk mencari sensasi yang baru. Melihat matahari terbenam, adalah salah satu hal favoritku.
"Permisi" ucap seseorang dari arah belakang. Seorang pria dengan kemeja merah itu menghampiri meja kami.
"Ya, pak. Ada apa?" Tanya ku.
"Um, maaf, tadi yang bernyanyi di kafe ini siapa ya?" Tanyanya.
"Oh, itu saya. Maaf jika saya—"
"Tidak tuan, kau sangat jenius! Semua pelanggan ku sangat tertarik dengan lagu mu. Apa kau bisa menyanyikannya lagi?" Tanya pria tadi. Kepalanya botak dan berbadan besar.
"Ya ampun John, lagu apa yang kau nyanyikan? Sampai orang-orang di sini terkagum kagum?" Tanya David antusias.
"Hahaha. Tidak, itu hanya lagu konyol ku" ucapku merendahkan.
"Kumohon tuan, bernyanyi lah lagi. Akan ku bayar kau." Ucap pria itu. Ternyata, dia adalah manager kafe ini. Dengan anggukan aku menjawab.
Ya ampun! Aku tidak biasa untuk bernyanyi di depan umum seperti ini. Biasanya aku bernyanyi bersama bayangan ku.
Lagu imagine yang sekali lagi aku nyanyikan membuat para pendatang kafe bertepuk riuh. Aku mematung setengah mati disana. Seluruh orang di kafe menatapku sembari tersenyum. Hati ku benar-benar merasakan ada yang baru. Untuk itu, aku pastikan mimpi ku yang ini tak akan lenyap begitu saja.
Aku menuruni panggung, lalu menghampiri Paul dan David di tempat duduk semula. "Wah John! Kau sangat jenius sekali! Padahal, baru siang tadi dosen kita meminta membuat lagu, tapi kau bisa membuatnya dalam beberapa jam saja. Kau! Oh ya ampun!!!" David merangkul bahu ku dengan rasa bangga. Begitupun dengan Paul. "Hei John, lagu mu itu sangat tidak pantas untuk kau bilang konyol" Ucap Paul tersenyum. lalu merangkul bahu sebelah ku. Aku hanya tertawa. Lalu, aku menatap pandangan ke atas. Langit langit kafe yang ada di mataku. Tapi di dalam imajinasi ku, aku menggapai bintang di langit hitam itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beatles
FanfictionSelalu berfikir. itu yang aku lakukan. Berfikir untuk mencari hal yang baru. Biarkan aku berimajinasi disini. Bersama mimpi mimpi ku. Dan, mimpi mimpi itu tak akan ku biarkan lenyap begitu saja.-JohnLennon