Rasanya mewah yang tidak pernah bisa lepas. Ribuan cerita dalam lembar buku perlahan kusam, menguning, termakan waktu dan kisah lain yang mengisi lembar demi lembar selanjutnya. Perasaan menggelitik hilang sudah, terpisah. Jika jiwa sudah kelam, gelapkan saja sekalian!
"Absen dua puluh. Nathan Skylar Lauwis!"
"Nathan!"
"Ah.. iya Saya."
Terlalu banyak melamun membuat Nathan kehilangan fokus pada hal sekitarnya. Panggilan guru olahraga berbadan atletis dan teman berkacamata di samping Nathan agaknya kurang diacuhkan, terbukti dengan mata Nathan yang beberapa detik mencari suara yang memanggil sebelum berjalan ke depan matras biru.
"Siap?"
Nathan mengangguk setelahnya melakukan gerakan senam lantai yang diperintahkan.
Jadi ini yang semestinya Nathan lakukan, berdiri setelah berguling diatas matras. Semestinya Nathan harus bangkit dan melupakan hidupnya yang hanya berputar pada Caca, masa depan Nathan masih panjang dan Nathan tidak ingin tertahan oleh sepele berkepanjangan.
Laut memang sangat luas, tidak terjangkau dan terlihat tanpa ujung. Nathan tidak ingin tertahan di pulau tanpa harapan tanpa ingin berlayar, mencari pulau lain yang mempunyai sedikit kemilau.
"Ganti baju yok.. nanti keburu toilet rame," Fihan, teman sebelah bangku Nathan di kelas, mengalihkan segala pemikiran imajinasi Nathan. Sempat melirik Caca disisi lain lapangan indoor yang sedang menunggu giliran pengambilan nilai olahraga, Nathan mengambil keputusan untuk menyetujui ajakan Fihan. Absen Caca dua di bawah nama Nathan, masih cukup jika Nathan berniat menunggu Caca.
Nama Caca terpanggil tepat punggung Nathan menghilangkan dari pintu ruangan.. seakan-akan menunggu Nathan untuk pergi.
"Marsha Cleopatra Pranata!"
Meski Nathan telah meninggalkan ruang indoor.. nama Caca masih terdengar ditelinga Nathan.. begitu jelas.. sangat jelas..
Rasanya Nathan sudah kelewat batas terbiasa merasa nyaman dengan Caca.. karena terbiasa Nathan juga menginginkan terbiasa menghilang dari Caca.
"Ada saatnya Saya harus punya pilihan.. pilihan bagus untuk Saya dan orang yang Saya sayang.." pembicaraan menjadi serius. Untuk sekarang biarlah Nathan membiarkan dirinya sedikit banyak omong dibandingkan Caca. "Saya rasa ada sesuatu yang harus Saya tinggalkan disini."
Mereka hanya dua anak SMA dengan pencarian jati diri yang masih abu, yang satu senang menjauhi apapun masalah untuk dirinya dan orang disekitarnya, yang satunya hanya senang menjalani kehidupan dunia secara naif. Nathan menyendok sepotong tempe mendoan dengan garpu plastik.. mengecap rasa pedas manis saus kecap yang terasa hambar untuk Nathan. Mengapa tangannya masih menyuapkan potongan tempe mendoan yang ditusuk pada garpu ke dalam mulutnya?!
"Lo mau pergi?.." Nathan tidak mengerti pandangan kosong dimata Caca.. yang pasti itu bukanlah sebuah pandang balasan untuk perasaan Nathan. "Katanya setuju ambil sastra disini?"
Mana bisa Saya melupakan Kamu kalau tidak pergi. Saya juga harus memikirkan apa yang baik untuk Saya. Sakit bukan sesuatu yang Saya harapkan.. dan sekarang malah selalu Saya rasakan setiap melihat Kamu. Emosi ganjil dalam ruang kecil membuat Saya ikut bingung. Harus Saya apakan emosi itu kedepannya? Buang? Kemana Saya harus membuangnya? Biarkan? Dan Saya terus-menerus terbebani? Tiap nafas Saya hirup dengan berat. Ada beban dalam udara yang terhirup, masuk.
Sampai kapan Tuhan...
"Dosa Saya tidak terhitung lagi. Tuhan baik sama Saya.. Saya diberikan kecukupan, baik secara materi ataupun yang lain," tidak ada yang berubah selama setengah jam lalu, masih dengan Nathan menatap kubah masjid sekolahnya. "Waktu dzuhur hampir lewat.. kalau Saya ingin berubah paling tidak Saya harus menjalankan kewajiban Saya dulu.. kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fri(END)
RandomNo title. Not found. No love. No happy ending. END. *Izin mempublish cerita ini sudah disetujui oleh pihak yang bersangkutan. Intinya cerita ini pernah nyata sebelumnya sama seseorang.*