Harga Diri Seharga Tusuk Gigi

244 18 6
                                    

Aku berlari sekuat tenaga menerobos rintik-rintik yang kian angkuh menjatuhkan diri ke bumi. Satu per empat pakaianku telah dibasahi rintikan tersebut, membuat kakiku semakin mempercepat langkah.

   Akhirnya, setelah hampir sepuluh menit menerobos hujan dari warteg di persimpangan, aku sampai di kantor. Aku menghela nafas lega. Tidak sia-sia pakaianku hampir rata terkena basah.

  Aku mengeluarkan ponsel dari kantung plastik yang sempat kuminta dari penjual di warteg tadi, mengantisipasi agar ponselku tidak kemasukan air hujan. Hanya butuh dua detik setelah aku menonaktifkan mode penerbangan, notifikasi sudah memberondong di layar ponselku. Huh, sebegini terkenalnyakah aku? Haha, becanda. Sebenarnya ribuan-haduh terlalu hiperbolis-notifikasi tersebut berasal dari penulis-penulis yang naskahnya aku tangani.

   Iya, aku seorang editor. Untuk tambahan, aku bekerja di NaraNa Publisher, termasuk salah satu dari sederetan Publisher yang cukup terkenal. Bahkan sudah hampir menyamai Gramedia.

   Namaku Baejoohyun, usiaku masih, hmm... , 25 tahun. Oke, singkirkan saja kata masih tersebut, karena dalam usia segini seharusnya aku sudah memiliki pasangan hidup. Tapi jujur saja, pacaran aja enggak pernah, apalagi bermantan. Tidak, tidak, sebenarnya aku pernah pacaran, untuk yang pertama dan yang terakhir. Sejujurnya aku malas mengungkit hal ini kembali, sebab sangat tragis. Kejadian ini hampir tiga tahun lalu, dan bayangkanlah tokoh utamanya seorang laki-laki tinggi nan tegap, memiliki wajah yang memiliki estetika dalam setiap inci sisinya. Dan lagi, suaranya yang berat membuat aku tidak bisa konsentrasi. Namanya Chanyeol.

   Bermulanya saat aku bertemu ia di area seputaran Monas. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas akhir, dan ia membantuku memotret beberapa sisi dari Tugu Monas. Hasil foto yang dia ambil sangat bagus. Nah sejak saat itu kami semakin dekat. Tapi, ia tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Padahal aku sedang dalam fase puncak mencintai. Tapi sekarang udah enggak.

   Beralih topik, aku sudah berada di ruang editorial, yang berisi pendominasian wanita di dalamnya, karena hanya ada tiga pria yang tergabung. Aku cinta pekerjaan ini, sungguh. Terlebih karena beberapa rekan yang cukup kukenal baik.

   Mira, si wanita berusia 24 tahun, menghampiriku dengan tergesa. "Bae, lo udah ngasih naskah ke proofreader belum? Soalnya tadi Bu Mine datang, terus nyari lo. Karna lo nggak ada jadi Bu Mine nitipin pesan supaya lo buruan ngasih naskah ke proofreader." Ujarnya.

   Aku mengangguk, "Udah mau kelar, tinggal di epilog doang."

   "Terus naskah Magenta udah lo revisi? Naskah Igulty? Naskah Pak Rama?" ia menghujaniku dengan pertanyaan.

   "Elah, kalo naskah-naskah yang itu belum gue sentuh sama sekali," aku tertawa, "Tapi tenang aja, minggu depan udah pada kelar. Lagian deadline-nya kan masih tiga mingguan lagi."

   Mira mengangguk, "Terserah lo." Ia melangkah ke meja kerjanya.

   Fiuh, bisa bayangin kan seberapa repot pekerjaanku.

   Aku tarik perkataanku yang menyatakan aku cinta pekerjaanku tadi.

   Ponselku berbunyi, menandakan bahwa ada pesan masuk. Dengan cekatan jemariku langsung sigap mengambil ponsel.

   Pak Rama: Bae, kita hari ini ketemuan di  Angkringan Raka saja, ya. Soalnya saya juga sekalian ketemuan sama seseorang. Bisa kan!

   OMG! Kalau udah ada tanda seru, habislah sudah. Padahal jelas-jelas kalimatnya berjenis pertanyaan, masa mengikutsertakan tanda seru, sih. Aku heran kenapa novel-novelnya bisa laris di pasaran. Andai saja pembaca-pembacanya tahu gimana sifat Pak Rama yang sebenarnya.

Sehun PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang