Sunday
07.45 AM
Hari itu masih kuingat hingga kini. Ketika aku berdiri sambil menenteng tas kerjaku, di halte biru. Aku melihatmu disana, untuk pertama kali. Kau berdiri, dan sesekali menyibakan rambutmu ke belakang telinga. Dari jarak dekat, aku masih mampu mencium semerbak harum rambutmu. Hingga saat kita tak sengaja menoleh bersamaan, kau tersenyum waktu itu. Membuat aku terpaku, gunung es yang tersembunyi di balik rongga tulang rusukku, kurasa kau berhasil melelehkannya dengan senyum seperempat detikmu.
Dan yang membuat detak jantungku tak senormal biasanya, kau memulai pembicaraan yang tak terduga. Kau bertanya padaku.
''Hai, sepertinya bis kota akhir-akhir ini sering datang terlambat ya?'' aku terdiam. Benarkah? Kau tahu, saat kau bertanya seperti itu, sebenarnya aku baru menyadari hal itu.
''oh ya?'' aku balik bertanya padamu. Sungguh, aku terlalu bingung untuk menjawabnya, hingga satu-satunya kata yang dapat kuucapkan saat itu hanyalah itu.
''iya, aku sudah menunggu disini 15 menit, tapi tak ada satu pun bis yang datang... Heran...'' ucapmu sambil memangku dagu dengan tangan. Wajahmu, aku tak tahu bagaimana cara menggambarkannya dengan lebih jauh. Kau berbeda, matamu yang ikut tersenyum saat bibirmu tersenyum merenggutku jauh kedalam irismu. Aku terpana. Dalam sehari aku terpana padamu dua kali.
Wajah sumringahmu nampak saat dari kejauhan badan bis terlihat. Kau tersenyum lebar, menampakan deratan gigi rapihmu. Bis itu pun berhenti di depan kita, kau bersiap untuk melangkah. Satu persatu anak tangga itu kau lewati, dan pintu bis itu tertutup. Aku kini hanya menatapmu dari luar.
Mataku bergerak liar mengikutimu, dan aku tak sadar. Aku merasa, hanya ada kita berdua saat itu. Tak ada suara lain, hanya suara aku, kamu, dan degup jantungku yang mengencang. Saat bis yang membawamu mulai berjalan, kau menengok padaku, tersenyum, lalu melambaikan tanganmu.
...
Monday
10:15 PM.
Jam arlojiku terus berputar berlomba dengan bumi, mencari tahu siapa yang terbaik diantara keduanya. Mataku pun sudah merah, dan beberapa kali memaksa untuk menutupnya. Akibat sejak tadi terus terjaga. Tanpa kompromi.
Saat orang-orang itu satu persatu memasuki bis mereka -pulang-, aku tak beranjak dari tempatku. Entahlah, apa yang kulakukan. Yang ku tahu, hati kecilku kini berharap
Untuk dapat melihatmu lagi. Dan kau tahu? Sepertinya hati kita memang terhubung. Kau datang dengan wajah kuyu mu berjalan ke arahku, ke arah halte ini.
Tanganku terangkat, berusaha keras untuk tak malu menyapamu. Tapi bodohnya aku, kuurungkan niatku dan kembali bersikap tenang seolah tak ada hal yang bergejolak di hatiku.
Hey gadis,
Aku menunggumu tersenyum dan bicara lebih dulu padaku seperi kemarin. Bisakah? Maukah kau melakukannya lagi?
Sehelai tipis sesuatu berwarna putih mengalihkan pandanganku. Aku mengikuti gerak jatuh benda itu, dan saat itu pula, aku sadar jika benda yang terjatuh itu berasal darinya. Miliknya. Tanpa perlu pikir panjang pun, aku langsung mengambilkan benda itu untuknya.
Dia menutup mulutnya dengan tangannya seakan tak percaya ada seseorang yang akan melakukan hal sepele seperti itu untuknya. Kau tertawa kecil dan menyelipkan helaian rambut yang menutupi matamu, kebelakang telingamu. Kusambut tanganmu yang terulur dan segera kukembalikan benda itu padamu.
Benda itu sedikit kotor, dan kau membersihkannya dengan tanganmu sendiri. ''Ya Tuhan...'' kau tersenyum. ''Ini kartu nama seseorang yang sangat penting untukku. Aku gak akan bisa membayangkan kalau sampai benda ini hilang..''
KAMU SEDANG MEMBACA
See You In The Other Side
Short StoryJika kau mau mendengarku kali ini saja, tolong percayaiku, aku bisa membuatmu bahagia, lebih dari yang ia janjikan. Aku akan terus tersenyum padamu, membawamu setiap hari kepantai karena kau bilang kau sangat menyukai pantai, tak akan membiarkanmu t...