1.7 Conversation

2.8K 108 3
                                    

" Bukan karna aku yang tertutup. Hanya saja, ketika aku menceritakan kehidupanku, mereka hanya mendengar tanpa memberi saran."

-Dara Maharani-

Dara berjalan riang memasuki rumah dengan senyum yang terulas di wajah cantiknya. Bu Ani yang jarang melihat kejadian langka ini pun memandang Dara heran. Dara hanya menyapa Bu Ani dengan senyuman lebar kemudian berlalu menuju kamarnya.

Masuk ke kamar, Dara langsung saja telungkup di tengah-tengah kasurnya. Tanpa membuka tas atau mengganti pakaian, Dara memejamkan mata dan menutup kepalanya dengan bantal.

Merasa sangat bahagia. Dara pun mengambil guling dan menggigit guling itu kencang. Berupaya meredam teriakan saking bahagianya.

" Alfy nyium pipi Dara." Gumamnya berulang kali. Dari pelajaran pertama setelah bel istirahat berakhir, Dara terus tersenyum mengingat Alfy mencium pipinya.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa. Alfy hanya mencium pipinya, itupun tidak lama. Hanya hitungan detik atau mungkin nanodetik? Entahlah, tapi itu membuat Dara senang bukan main.

Bahkan tadi, ia melaksanakan hukuman dari Bu Maya karna terlambat sepuluh menit dengan senyuman yang mengembang. Membuat guru yang mengajar Matematika itu terheran.

Dara juga tidak menyangka efek yang ditimbulkan akan sebesar ini. Alfy, cowok yang baru ia kenal sebulan belakangan bisa dengan cepat mengalihkan perhatian Dara. Menambah warna dalam hidupnya. Seperti memberi harapan baru bagi Dara setelah satu tahun yang lalu.

Seperti tersedak kebahagiaan, Dara duduk lalu mengambi bonekanya yang terletak di nakas. Memukul benda tidak bersalah itu bahkan sesekali menggigitnya.

Masih dengan senyum yang mengembang, Dara mengambil ponselnya yang terletak di nakas karna tadi Dara tidak membawanya ke sekolah.

19 Panggilan tidak terjawab.

6 E-mail baru.

999+ Line.

Kerutan terpatri di dahi mulus Dara. Melihat ponselnya yang mendapat banyak notifikasi. Dara memutuskan untuk melihat panggilan tidak terjawab terlebih dahulu.

Om Radit, batinnya. Dara memutuskan untuk menelpon balik Om Radit. Baru saja beberapa detik panggilan terhubung, Om Radit langsung mengangkat dan memburu Dara dengan banyak pertanyaan.

" Hallo? Dara kamu udah pulangkan? Kenapa telpon om nggak diangkat? Kamu dimana sekarang?"

Dara semakin mengernyit bingung. Ponselnya memang selalu di silent, jadi Dara tidak mendengar nada dering dari panggilan Om Radit. Begitu juga dengan notifikasi lainnya.

" Dara di rumah om. Tadi Hp-nya Dara silent, jadi nggak denger. Emang kenapa om? Ada masalah lagi?

" Itu, sidangnya dipercepat jadi lusa. Kamu udah ngumpulin berkas-berkasnya kan? Nanti biar om aja yang ikut sidang. Kamu kan sekolah."

" Udah om. Berkasnya udah Dara siapin dari kemaren-kemaren. Emang kenapa dipercepat?"

Di seberang sana, Om Radit menghembuskan napas lega. Merasa senang memiliki partner kerja seperti Dara. Cekatan dan selalu siap. Senyum lega terulas di wajah laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu.

" Oh Alhamdulillah. Om juga kurang tau."

" Tapi om, pengacaranya udah siap kan?"

" Udah. Kamu tenang aja. Kamu cuman perlu ngumpulin berkas-berkasnya buat jadi bukti. Ya udah ya Ra, Om ada tamu. Kamu jangan terlalu dipikirin, ya. Nanti stress, biar om yang ngurus."

Lucha || END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang