"Dev, bangun." bisik ayahnya dengan suara berdesis. "Bangun sekarang." Ia lalu melihat ke arah pintu dengan khawatir, seolah takut jika ada yang tiba-tiba muncul mengikutinya.
Dev mengerjapkan matanya beberapa kali. "Di luar masih gelap, yah." Kata Dev dengan suara serak. Kepalanya terasa pusing, ia baru tidur beberapa jam setelah membaca komik secara sembunyi-sembunyi di bawah selimut dengan menggunakan senter. Ia mengucek mata dan melihat ke cela-cela jendela yang memang masih gelap.
"Kamu harus bangun sekarang. kita harus pergi." Ayahnya mengangkat badan kurus Dev dengan mudah dan menyuruhnya duduk di pinggir tempat tidur. "Sekarang dengar, kemasi barang-barang kesayanganmu, lalu masukkan ke dalam tas ini. Jangan lupa bawa hadiah ulang tahunmu yang kemarin." Ayah Dev mencoba tersenyum.
"Kita mau ke mana?"
"Kita akan pergi ke suatu tempat. Ayo lekas lakukan yang Ayah beritahu barusan. Ayah akan ke depan sebentar, dan saat Ayah kembali, kamu harus sudah selesai berkemas dan juga memakai sepatumu, oke?"
"O.. okay." Jawabnya pelan.
"Good boy. Tunggu di sini sebentar." Lalu ayah Dev menghilang di kegelapan di balik pintu.
Dev yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mengangguk dan menerima tas yang disodorkan ayahnya tadi. Ia lalu memasukkan beberapa barang kesayangannya ke dalam tas tersebut: sebuah boneka Teddy Bear berukuran sekepalan tangan orang dewasa, beberapa robot-robotan Trasnformers, action figure Iron-Man, sebuah Walkman hadiah ulang tahun, dan juga sekantong permen. Setelah itu ia berjalan ke arah lemari dan memasukkan beberapa pakaian favoritnya, lalu memakai sepatunya.
Dan saat Dev berusaha mengikat tali sepatunya, ia mendengar suara tembakan dari luar rumah.
Dor!
Suara tembakan itu terdengar dekat sekali, seperti berasal dari halaman rumahnya. Dev terlonjak, lalu lari dan bersembunyi di dalam lemari pakaiannya yang besar. Ia terduduk di sebelah tumpukan baju-bajunya yang sudah kekecilan. Dev merasakan badannya gemetar. Selama beberapa saat, ia menunggu di dalam lemari dengan ketakutan.
Tak lama, ia mendengar pintu kamarnya terbuka. Dev mengintip perlahan dari sela-sela pintu lemari. Untunglah itu ayahnya.
"Ayah.." Dev buru-buru keluar dari lemari dan menghampirinya. "Itu tadi suara tembakan? Ibu.. mana?" katanya lirih. Hampir menangis.
"Ibu sudah berada di tempat yang aman. Sekarang kita harus bergegas dan bertemu ibu di sana." Ayahnya berjongkok untuk menenangkan. "Kamu sudah bawa barang-barangmu?"
Dev mengangguk pelan. "aku takut." Katanya.
"No, no. Kamu tidak boleh takut. Semua baik-baik saja." Kata ayahnya. "ayah sudah sering bilang, kamu anak dengan bakat hebat, Dev. Kamu tidak boleh takut."
Dev menatap wajah ayahnya, menarik napas, lalu mengangguk. "Iya." ucapnya lirih.
"Itu baru anak ayah."
Mereka berjalan menuju pintu belakang. Dev tidak ingin bertanya mengapa mereka tidak lewat pintu depan saja, seperti biasa. Ia tahu, ada yang harus mereka hindari. Mungkin orang yang baru saja melepaskan tembakan tadi ada di depan pintu. Ia bergidik membayangkannya.
Baru beberapa langkah mereka keluar dari pintu belakang, terdengar suara berisik dari arah depan. Seseorang sepertinya baru saja mendobrak pintu rumah mereka.
Mendengar itu, lengan Dev langsung ditarik oleh ayahnya. Mereka berdua lalu berjongkok di samping dinding bagian luar garasi. Ayahnya tahu, sebentar lagi pasti akan ada orang yang juga memeriksa pintu belakang. Mereka harus segera menyingkir dari situ.