1.8 'cari makan'

2.4K 86 0
                                    

Dara menghela napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau ini adalah pilihan yang tepat.

Dara melihat pintu kokoh di depannya saat ini. Memandang pintu berwarna coklat itu dengan tatapan kosong. Otak dan batinnya seolah berperang. Otaknya ingin untuk Dara masuk ke dalam ruangan ini. Namun batinnya justru menginginkan Dara pergi dari gedung berlantai empat belas ini.

" Demi cafe dan karyawan gue." Ucapnya meyakinkan diri sendiri. Dara lalu berjalan mantap memasuki ruangan luas dengan banyak tumpukan berkas di sekelilingnya.

Wangi kayu manis dan lavender menyeruak ke dalam indra penciuman Dara. Cewek itu menarik napas dalam sekali lagi. Menikmati perpaduan wangi yang menenangkan. Andai saja Dara melupakan tujuan utamanya, ia akan memilih untuk duduk di sofa dan tertidur disana. Saking nyamannya pada wangi ruangan ini.

" Eh anak papa udah dateng. Apa kabar?" Tanya Fadli ramah –yang justru memuakkan bagi Dara. " Baik." Jawab Dara pendek.

Fadli terkekeh melihat sikap Dara yang jauh berubah sejak lima tahun yang lalu. Tidak ada lagi Dara yang cerewet, tidak ada lagi Dara yang ceria. Semuanya berubah. Dara yang cuek dan dingin.

Setidaknya, itulah sikap yang Dara perlihatkan pada papa-nya. Fadli cukup menyesali perubahan sikap Dara. Tapi bagaimanapun juga, ini semua karna dirinya. Dara berubah karna sikapnya pada anak itu sendiri.

" Jadi pilihan kamu gimana?" Tanya Fadli dengan seringaian yang tercetak jelas di wajah tampannya. Walaupun sudah menginjak kepala empat, Fadli tetap memiliki wajah tampan tanpa kerutan berarti di wajahnya.

" Kalau saya memilih untuk kembali ke rumah, apa yang saya bisa dapatkan?" Dara balik bertanya dengan nada formal. Ia sudah duduk di hadapan Fadli.

Perlahan, seringaian di wajah Fadli semakin terlihat jelas. Merasa menang karna Dara memilih untuk kembali ke rumah. Sidang akan diadakan besok, tentu saja itu semakin membuat Dara tertekan.

" Oya banyak! Kamu bisa tinggal di rumah yang mewah, punya semua fasilitas yang kamu mau, dilayanin sama banyak pelayan, dan kamu nggak perlu mikirin cafe lagi. Karna kalau kamu balik ke rumah, cafe bakal di urus sama bawahan papa yang lebih berpengalaman. Yang pasti kamu akan bahagia, Dara." Ujar Fadli panjang.

Dara memandang papa-nya sinis. Bahagia? Bullshit! Pikirnya. 'yang ada gue marah-marah mulu!' batin Dara berteriak.

" Hmm, bahagia ya? Bagaimana kalau saya justru merasa tertekan di rumah anda?" Tanya Dara sarkas. Fadli kembali terkekeh melihat anaknya yang sekarang sudah dewasa lebih cepat dari umurnya.

" Kamu boleh pergi."

" Tuan Fadli adiputra, sebenarnya apa yang anda mau dari saya? Anda menginginkan kembali warisan yang diberikan ayah anda kepada saya? Atau surat apa yang memerlukan tanda tangan saya? Segera tunjukan, dan saya akan menanda tangani surat tersebut! Tidak perlu basa-basi!" Ucap Dara penuh penekanan.

" Haha, kamu cukup cerdas Dara! Saya mengakui itu." Balas Fadli sembari bertepuk tangan pelan.

Dara lagi-lagi tersenyum sinis. Benar dugaannya, tidak mungkin Fadli repot-repot melakukan ini semua tanpa tujuan yang jelas. " Jadi? Apa yang anda butuhkan?" ujarnya sarkas.

" Baik-baik, karna kamu udah berhasil nebak taktik saya. Saya akan memulai permainan ini." Balas Fadli kemudian berlalu menuju salah satu rak berisi banyak berkas dan mengambil salah satu map berwarna kuning disana.

Dara tidak peduli apa yang dilakukan Fadli. Ia hanya ingin Fadli menyingkir dari hidupnya dan jangan pernah mengganggunya lagi. Jika Fadli meminta warisan itu, Dara akan memberikannya. Asalkan Fadli bisa berhenti mengganggunya.

Lucha || END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang