Ijazah

1.8K 31 5
                                    

SEPEDANYA langsung dibaringkan, karena agaknya tak ada tangkai besi penyangganya. Caranya membaringkan juga menarik. Tidak keras tapi kelihatan gerak itu apatis sekali, sehingga sepeda setengah terempas. Ia kemudian berdiri loyo. Di tangannya ia menyandang setumpuk kertas, koran dan majalah-majalah kumal. Kemudian berjalan ke arah pintu, Loyo, lamban dan putus asa.

”Aku masuk, Bang!” sambutku.

Ia melangkah. Melewati pintu. Dan sungguh anak ini tetap saja kurang tahu diri. Kamarku ini bersih dan alas kaki mesti dicopot di depan pintu. Tapi dia ini tenang saja menginjak lantai ini dengan sepatu kumal yang tak karuan warnanya dan tak karuan bentuknya oleh jejalan solesol. Tetapi seperti beberapa kali pernah terjadi setiap ia datang kemari, aku memaafkannya. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi. Tanpa meletakkan tumpukan kertas di sebelah tangannya itu, segera bola matanya beredar ke segenap penjuru ruangan kamarku. Aku menyaksikannya saja dengan sabar. Pakaian dan caranya memakai sungguh tak mengenal tata cara dan keseraian. Kaos merah menyala nongol di bawah lehernya. Di atasnya berlapis dua baju. Yang dalam kain dril tebal dan yang luar nilon tapi juga tebal. Warna baju yang dipilihnya juga menunjukkan citarasa primitifnya. Kemudian sabuk melingkar di pangkal celana kombornya. Baju-baju dan kaos ia masukkan ke celana, tapi bagian yang sebelah kanan kancing terjuntai keluar. Lebih dari sekadar tidak rapi. Dan kaos kakinya yang berwarna kuning menyala itu seharusnya ia lingkari dengan karet gelang agar lengket di kakinya. Kemudian tali sepatunya itu semestinya ia fungsikan. Dan rambutnya yang lurus dan jarang, basah kuyup oleh minyak rambut, atau besar kemungkinan minyak-klentik, sementara banjir itu melebar juga ke keningnya, telinga dan kerah kaos bajunya. Benanbcnar pemandangan yang membuat aku takjub dan pilu. Ia bukan berpakai seenaknya. lni sialnya. la justru nampak berusaha necis.

“Itu gambar siapa?” tiba-tiba ia bertanya sambil menunjuk sebuah gambar close up yang cukup besar di dinding.

“O, itu pembantu rumah tanggaku yang amat setit.”

“Kukira bapakmu tadi.”

Gambar itu amat buruk. Bukan gambarnya, tapi orang yang digambar. Di samping aku ingin mengabadikan kesetiaan hidup orang itu, salah satu kesenanganku memang menggambar wajah yang amat buruk. Wajah kawanku Bambang ini agak kurang buruk, kecuali penampilannya, jadi belum ada ideku untuk mengabadikannya.

“Vignetmu ada di majalah Cakrawala lho!”

”O ya?”

“Ya Aku senang dengan pola seni rupamu.”

”Yang apa judulnya?”

”Pasar IV.”

“Pasar IV? Oo…”  Vignetku yang sudah hampir setahun, yang rupanya diberikan Bambang ini, lalu dimuat oleh Cakrawala. Ia melaporkannya seperti barang baru. Aku makin sedih.

Bambang mengembara lagi bola matanya. Ia singgah di rak buku, di jam dinding, vas bunga, ranjang, sapu di pojok, kemudian kalender dan akhirnya Wajahnya menengadah ke langit-langit. Lama sekali tak beranjak dari sana. Tumpukan kertas-kertas kumal itu dipangkunya sambil dipegangi oleh tangan kirinya, sedang kanannya menopang dagunya sambil satu jarinya menempel di bibirnya.

”Kertas-kertas apa itu, Mbang?” sengaja aku menggugurkan lamunannya.

”Ooo,” ia tergagap. ”Ini naskah tulisan-tulisan. Ini koran-koran dan majalah yang ada tulisanku.”

Ia membolak-balik tumpukan itu. Nampak ada juga. Piagam. Ijazah dan surat penghargaan. Perasaanku getir.

”Tulisan apa, Mbang?”

Ia menyodorkan kertas-kertas. “ASEAN: Menuju Integrasi Kultural”, ”Dicari: Khrisnamurti Indonesia!”, ”Bagaimana Melihatkan Seluruh Rakyat Indonesia ke Dalam Kesadaran Berkesenian”….

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang