Podium Husni

406 10 0
                                    

“La ya’riful Waliy illal Waliy”.

Tak tahu Wali kecuali Wali. Tak tahu penyair kalau bukan penyair. Biarlah Husni Djamaluddin Penyair diketahui, dipahami, dimengerti, dihayati, dituliskan, oleh para penyair. Aku bukan.

Pernah kutulis puisi, ribuan, bahkan, tapi tak membuatku jadi penyair. Penyairku gagal total. Alhamdulillahi robbil’alamin. Puji Tuhan.

Pernah kutuliskan ribuan esei, kuterbitkan 52 buku, tapi paling jauh sekedar membuatku jadi Penulis. Aku Penulis, yang tak diakui oleh diriku sendiri. Apa itu Penulis? Apa itu Penulis, di hadapan Iqra’? Masih adakah makhluk bikinan yang stagnan hidupnya dalam kebanggaan sebagai penulis—di kungkungan al-‘arsy al-‘adhim, semesta maha agung yang tak terpahamkan ini? Penulis tak tahu malu. Penulis tak ngerti diri. Yang bangga jadi Penulis, matilah sebelum mati.

Sudah kubunuh penulis-ku. Telah kubatalkan eksistensiku. Telah kutanggalkan diri, satu sekon sesudah kuketahui bahwa diriku sekadar seakan-akan diri. Kalau diperkenankan, di sisa hidupku aku berpura-pura tak kenal diriku, karena Sang Diri menelanjangiku!

Tak kupunyai saham apapun. Segalanya barang pinjaman. Juga yang seolah diriku ini. Sahamku nol persen, tak berhak aku atas segala jabatan, sekadar pun jabatan sebagai manusia. Telah kukembalikan semua barang pinjaman ini kepada Pemiliknya, tanpa perlu Ia mengambilnya kembali melalui Malaikat Maut.

Husni Djamaluddin kekasihku di Tuhan. Melintas-lintas sejenak di dunia hina dina, sekadar untuk mentertawakannya.
***

Tak sanggup kutuliskan apa-apa. Bisa aku ketik lima tulisan dari satu pertandingan sepakbola. Tinggal mengimajinasikan suatu mapping dimensi-dimensi. Memperluas lapangan bola menjadi lapangan nilai. Menentukan angle-angle. Menyerahkannya kepada otak. Kemudian otak memberi perintah kepada jari-jari di atas keyboard komputer. Dan lima tulisan itu bisa terselesaikan kurang dari dua jam.

Karena untuk menulis tak kuperlukan enerji atau kesibukan. Hanya sedikit waktu. Allah pinjamkan hardware si otak ini. Setiap saat Ia memancarkan gelombang elektro-magnetik yang Ia sebut al-‘aql, akal. Sehingga si otak melakukan pekerjaannya, yakni berpikir. Otak berpikir, atas pertolongan akal. Otak yang berpikir, aku tidak. Aku tidur, dan tatkala bangun otak lapor dan menyodorkan hasil kerjanya. Tanganku tinggal menuliskannya.

Tetapi hal itu justru yang menyebabkan aku terbata tatkala harus menulis sesuatu berkaitan dengan Husni Djamaluddin. Apa gunanya seribu kata diucapkan atau dituliskan di tengah nikmatnya percintaan kami yang sudah meninggalkan kebudayaan di belakang punggung? Kami berdua sering menulis puisi, sekadar untuk konsumsi jiwa kanak-kanak yang bersemayam di badan manusia sepanjang hidupnya. Kami berdua meladeni dunia, konstelasi, era, zaman, peradaban—sebagaimana seorang kakek bermain-main dengan cucunya. Kami berdua menyanyikan ilmu-ilmu, romantisme sosial, keasyikan bermasyarakat—sebagaimana seorang tamu menghirup kopi hangat dari cangkir yang disuguhkan dalam perjamuan yang sesungguhnya terdiri atas 90% kepalsuan.

Kini harus kusapa Husni Djamaluddin dengan bahasa orang lain, bukan bahasa kami berdua. Maka untuk mengambil keputusan tentang satu kata buat Husni Djamaluddin dalam bahasa dunia, aku butuh tak kurang dari setengah tahun.
***

Namun kukerjakan dan kuhayati peran di dunia ini, seolah-olah sungguh-sungguh aku hidup di dunia dan dengan dunia. Kucoba tuliskan itu semua seakan-akan Husni Djamaluddin memerlukannya, sehingga setengah tahun itu berisi hari-hari dengan duri gaib yang menusuk-nusuk kalbuku.

Kurelakan ‘pemeranan’ ini. Duri itu berasal dari kedalaman kalbu itu sendiri. Duri-duri membuat jiwa perih, karena ia berasal dari lubuk kandungannya sendiri. Siksaan tak terperikan karena wujudnya di gambar perasaanku adalah semacam pengkhianatan cinta. Semakin tak kutemukan kata itu buat beliau, semakin kukutuk diriku sendiri karena tak sanggup menuturkan satu kata setia kepadanya.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang