"Nasionalisme Muhammad"

281 6 0
                                    

Konsep nasionalisme kita sesungguhnya tidak percaya atau tidak mengakui agama setidaknya Islam sebagai dirinya sendiri. Maksud saya, agama sebagai agama menurut agama itu sendiri.

Agama dibatasi sejauh tidak berlanggaran dengan wilayah kehendak negara. Negara yang saya maksud ialah suatu wilayah kebangsaan, yang dilahirkan dan disusui oleh bangsa, yang kemudian menjadi hampir satu-satunya otoritas yang justru mengatasi bangsa. Agama ibarat bayi yang dibiarkan bayi, ibarat kembang ‘dimanjakan’ di sebuah pot yang dijaga dan dielus-elus sedemikian rupa oleh para pramuwisma negara.

Bagian-bagian tertentu dari agama disiram agar subur, bagian-bagian lainnya sengaja ditanduskan. Agama, menjadi, bukan lagi pengatur kehidupan manusia, melainkan diatur oleh manusia, melalui sistem-sistem dan perangkat negara. Agama tidak diperkenankan tumbuh menjadi dirinya sendiri sebagaimana ia semula diniscayakan oleh ‘yang punya’.

Bahkan dalam beberapa ‘adegan panggung negara’, si ‘yang punya’ itu, yakni yang bernama Tuhan, juga ‘diatur’ oleh lembaga negara yang digenggam oleh tangan manusia. Tuhan dipakai kapan diperlukan. Firman-firman-Nya dikorup, diredusir, atau formasi-formasinya digeser sedemikian rupa, atau setidaknya interpretasi untuk mendukung atau menampar dengan kehendak-kehendak lembaga tersebut.

Berikut ini, terlebih dahulu saya berusaha untuk memaparkan batas-batas yang barangkali dapat kira sepakati mengenai nasionalisme, bangsa dan negara. Atau yang lebih ‘historis’: bangsa, nasionalisme, kemudian negara. ‘Batas’ di sini bukan ‘definisi’ melainkan tekanan tertentu mengenai nasionalisme yang kita perbincangkan sekarang ini.

Beberapa kekaburan ‘elementer’ yang menyangkut persoalan itu mungkin tidak perlu terlalu menjadi fokus pembicaraan kita. Misalnya kalau pengertian nasionalisme bisa kita lacak melaui konsep ‘bangsa’, maka apa sesungguhnya faktor utama yang melandasi bangunan komitmen yang disebut ‘bangsa’? Sejak di Sekolah Dasar, kita diberi pengertian bahwa bangsa itu merupakan kumpu-lan dari suku-suku bangsa. Jadi, ras. Perbedaan antara bangsa ini dengan bangsa itu menunjukkan ke perbedaan ras ini dengan ras itu. Tetapi orang Sumatra yang Melayu tidak sebangsa dengan orang Malaysia, dan mutiara-mutiara hitam Irian Jaya itu bangsa Indonesia.

Maka pengertian ‘bangsa’ pada kenyataannya sekarang ini lebih bersifat politis dari pada antropologis. Dengan demikian maka rangka nasionalisme lebih bisa diterangkan oleh konsep ‘negara’ dibanding konsep ‘bangsa’.

Faktor-faktor lain seperti umpamanya kesamaan global kondisi-kondisi material kehidupan sehingga berbagai komunitas berlingkar tangan menjadi sebuah bangsa—direlatifkan oleh tidak adanya perbedaan yang tajam, penting atau unik di antara bangsa-bangsa tertentu. Faktor kesamaan ekonimis juga makin digugurkan oleh paralel-paralel keadaan antara amat banyak bangsa-bangsa, oleh peta ‘Dunia Ketiga’. ‘Negeri-negeri Selatan Katulistiwa’, dst. Faktor lain seperti kesamaan kebudayaan di antara komunitas-komunitas bangsa itu juga bisa sama sekali tidak berlaku. Yang lebih merupakan potret yang jelas justru adalah kelahiran formasi kebangsaan yang disebut Indonesia ini, yakni yang memang ‘disusun’ oleh sejarah kolonialisme.

Dengan itu semua, potret paling gamblang yang bisa sedikit menampak-kan wajah bangsa, nasionalisme dan negara kita juga banyak bangsa-bangsa lain adalah usaha isolasi politis ‘darurat’ di antara kumpulan-kumpulan masyarakat di wilayah ini, sebagai antisipasi yang paling mungkin, terhadap momentum-momentum kemanusiaan di penghujung usia kolonialisme.

Paparan-paparan saya ini, saya maksudkan sebagai titik keberangkatan yang menganggap kita ini memang bangsa Indonesia, negara kita negara Indonesia dan nasionalisme kita nasionalisme Indonesia. Ini justru untuk melihat bahwa banyak pengalaman kesejarahan kita ternyata melangsungkan terobosan-terobosan tertentu terhadap anggapan dan pengertian itu.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang