Jaringan Mahasiswa Revolusioner Indonesia Baru

147 5 0
                                    

Kemarin malam: Bangbang Wetan di Balai Pemuda, forum bulanan di Surabaya, adik bungsu dari Padang Bulan Jombang, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Gambang Syafaat Semarang, Kenduri Cinta Jakarta, Obor Ilahi Malang, serta saudara-saudara tentatif di Bandung, Makassar, Kuala Lumpur, dan lain-lain, berlangsung sangat menggetarkan hati semua yang terlibat. Kalbu kemanusiaan, patriotisme dan nasionalisme, cakrawala ilmu dan intelektualisme, linking up spiritualisme, kematangan beragama, dan berbagai dimensi lokal global lain diselami, direnungi, dihayati bersama dan menumbuhkan adrenalin revolusioner untuk tidak berputus asa melihat dan mengalami Indonesia yang seakan tak ada akhir keterpurukannya.

Setiap kata, idiom, bunyi peringatan sejarah, karakter ketokohan, wacana firman, formula-formula gerakan, bahkan makna dan nuansa pisuhan Suroboyoan dihayati secara sangat proporsional dan positif.

Bangbang Wetan menjadi semacam Universitas Global yang memuat segala macam dimensi ilmu, yang berlaku tak hanya sebagai materi ilmu, namun tumbuh sebagai gairah gerakan. Siapa pun di forum itu yang hadir: dari pemulung sampai dekan, dari pedagang asongan sampai anggota Komisi Penyiaran, dari tukang ojek sampai kiai-kiai, segala segmen segala strata, semuanya menemukan dirinya dengan kadar masing-masing sebagai Ulul Albab, Ulinnuha, dan Ulul Abshar yang bersiap mati untuk tidak bersedia membiarkan kehancuran Indonesia.

Dalam konteks Ulul Albab mereka memperoleh dan memasuki kejernihan berpikir, kejujuran menggunakan akal, yaʻmal bi al-ʻilmi dan bukan yaʻmal bi azh-zhon, bertindak berdasarkan ilmu dan bukan berdasarkan prasangka. Karena semua individu, kelompok, atau institusi yang melakukan sesuatu berdasarkan prasangka, apalagi fitnah-fitnah yang tak terkontrol oleh observasi terhadap kebenaran masalah, di bidang apa pun, di wilayah dan level mana pun: merekalah yabg sedang fade out menuju kematian.

Apalagi mereka yang menegakkan kesombongan di atas kebodohan, mengibarkan keangkuhan di atas ketidakmengertian terhadap urusan yang sedang ditangani.

Bahkan hadirin yang bukan Muslim, menggelegak turut mengucapkan firman Allah: “Innahum yakiduna kaida, wa akidu kaida, famahhilil kafirina amhilhum ruwaida…”. Mereka melakukan tipu daya, dan Aku lebih pakar dalam melakukan tipu daya. Tetapi, Aku kasih waktu mereka sejenak, sebelum kehancuran akan menabrak nasib mereka.

Apalagi orang atau kelompok kemampuannya hanya sebatas menipudayai dirinya sendiri, dan sesungguhnya tidak memiliki apa pun untuk sanggup mengalahkan pihak yang mereka musuhi. Semakin banyak kalangan di Indonesia yang jauh dari prinsip Ulinnuha atau Ulil Abshar: kesanggupan intelektual untuk menangkal ketidakbenaran di dalam dirinya sendiri, apalagi ketidakbenaran di luar dirinya. Kesanggupan untuk memiliki penglihatan ijtihadiyah, berpikir obyektif sekaligus memiliki speleng untuk fenomenologi dan alternatif-alternatif. Tradisi ijtihad, perilaku sangat mulia dalam Islam, hanya berlaku pada sejumlah kecil kalangan. Mereka yang membanggakan dirinya semagai kaum Muhtahidin hanya mampu melakukan pembodohan atas diri mereka sendiri, tidak memiliki mesin akhlak untuk memfilter kebatilan di dalam diri mereka sendiri.

Komunitas Bangbang Wetan kemarin malam belajar dari 180 pengikut Rasulullah selama 13 tahun di Mekkah. Belajar menemukan formula hijrah dengan “jatah” waktu 10 tahun di “Madinah”. Belajar dari 313 prajurit Perang Badar yang juga struktur Al-Fatihah. Belajar dari Inna fatahna laka fathan mubina, dari “La Ubali” alias gak patheken. Belajar dari “Fathu Makkah” dan “Yaumul Marhamah” hari kasih sayang Islam versi Rasulullah Muhammad SAW. Belajar dari jajah ndeso molangkori-nya Mao Zedong, dari pintu kesehatannya Hizbullah Lebanon, dari keberanian Chaves dan Moralles, dari perenungan Karl Marx dan jaringan modalnya Ikhwanul Muslimun, dari bebas buta hurufnya Kuba dan takhayul Rambo…

Tidak sekadar mengenali Ajisaka sampai Sumpah Pemuda 1928, Jawa Dwipa sampai kemerdekaan 1945, dari lahirnya Kelompok Diskusi Sabtu sampai Dakwah Kampus, dari siasat Raden Wijaya sampai transformasi Sunan Ampel, dari Malari sampai Jamaah Thaliban, dari Nambi Ronggolawe sampai parpol Perancis yang beroposisi dan sadar tak ikut pemilu, dari kenapa Gajah Mada tak jadi raja sampai kenapa Amien Rais bikin sekolah bukan Muhammadiyah tapi Budi Mulia, dan segala macam wacana mozaik cakrawala ilmu ladduni dan firman kauniyah. Tak sekadar urusan kecil apakah gubernur Jawa Timur sebaiknya Karwo atau Naryo atau Ahmadi atau Saipul atau Gusti Joyo. Apalagi urusan remeh bahwa kelompok ini itu merasa digerogoti oleh PKS dan Hizbut Tahrir.

Mereka belajar mewaspadai perubahan iklim global, redistribusi pangan dunia menuju 2009, Satriyo Pambuko Gerbang sekarang dan Satriyo Pinandito Sinisihan Wahyu besok, dasinya Ahamadinejad yang ketlingsut entah di mana. Merek berdoa “Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqna ittibaʻah…” Jadikanlah yang benar menjadi terbukti dan teraplikasi sebagai sungguh-sungguh benar. Haq-nya masyarakat santri Jawa Timur adalah kesetiaan kepada aura dan visi para Auliya. Haq-nya arek-arek Suroboyo adalah pejuang dan pahlawan unggul, yang punya kosa kata “nekat” yang tak ada di kamus Inggris atau Arab. Haq-nya Surabaya adalah makam pahlawan….

Lambat atau cepat, lingkaran-lingkaran Ulil Albab Ulin Abshar Ulin Nuha dari ITS, Unair, Unesa, UIN, dan berbagai universitas lain akan menjaring diri terkait satu sama lain menjadi jala revolusi. Revolusi bukan membunuh pemerintah dan mencipratkan darah. Revolusi adalah keberanian dan keikhlasan untuk mengubah kehidupan secara seradikal dan serevolusioner apa pun jika secara ilmu memang diperlukan tindakan seperti itu.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang