Calon kelas menengah Indonesia, anak-anak muda intelektual dari berbagai kampus Surabaya, angkatan muda bernacam segmen ‘swasta’ yang dimotori oleh Jam’iyah Maiyah, juga sejumlah stake-holders, aktivis birokrasi dan aktivisme sosial, sedang melakukan pendadaran diri melalui wadah Bang-bang Wetan, untuk pada saatnya benar-benar siap menjadi “kelas perubah sejarah” Indonesia.
Tahap-tahap sangat penting sedang mereka tempuh.Pertama memastikan mengukuhkan kepribadian dan kediriannya sebagai manusia, sebagai pengolah metoda Agama dan ilmu-ilmu mutakhir, sebagai rakyat Indonesia. Rakyat berasal dari kata ro’iyah= kepemimpinan. Rakyat bukan kawula atau abdi. Rakyat adalah pemegang rohani kepemimpinan yang dipatuhi oleh Pemerintah dalam konteks dan skala Negara. Pemerintah adalah abdi atau kawula, yang dilantik oleh otoritas kepemimpinan rakyat, dikasih tempat bekerja memenuhi amanat rakyat, diberi upah, fasilitas dan berbagai akses untuk mempermudah pekerjaan kerakyatan.
Kalau pinjam filosofi “Gundhul Pacul“: pemerintah meletakkan “bakul” kesejahteraan rakyat diatas kepalanya. Derajat Pemerintah ada di bawah maqam ro’iyah. Tugas mereka mengolah modal kekayaan Negara untuk diantarkan kepada rakyat berupa kesejahteraan lahir batin. Demokrasi adalah salah satu jenis kendaraan untuk mengantarkan kesejahteraan itu.
Pemerintah dilarang “gembelengan“: main-main, sok kuasa, lupa hakikat demokrasi dan ro’iyah, merasa diri di atas rakyat dan lupa bahwa rakyat bisa hidup tanpa Pemerintah sementara Pemerintah tak bisa ada tanpa rakyat.Kalau Pemerintah “gembelengan” maka “wakul ngglimpang segane dadi sak-latar“. Kekayaan negara tercecer-cecer mubazir, dikuasai maling dan kaum serakah yang derajatnya sama dengan ayam yang nothol-nothol nasi berceceran.
Jangan lupa juga, seorang pejabat, dari Presiden sampai Gubernur Bupati Walikota, yang gembelengan: dalam teori ekogenetik—akan menyusahkan anak cucunya, yang menanggung “walat” adalah seluruh bagian dari ekosistem dan kekeluargaannya.
Lihatlah apa yang kurang pada putra putri Pak Harto: harta benda, kekayaan apa saja, kecantikan kebagusan—tapi apa yang mereka alami dari hari ke hari. Orang biasa menyebut hal semacam itu dengan kata ‘kuwalat’, atau & ‘hukum karma’. Secara ilmiah itu bisa dianalisis, meskipun tidak tepat betul, sebagai fenomena ekogenetik, dengan variable sebut saja eko-sistemik pada suatu skala, atau eko-sosiologis. Rute waktunya bisa harian, mingguan, bulanan, tahunan, dasawarsa, abad, millennium dst. Kuwalat itu pasti terjadi, kalau dalam idiomatik Islam: karena ada sunnatullah yang namanya tawazzun: penyeimbangan yang konsisten dan terus-menerus.
Kenapa Surabaya yang budayanya egaliter, cukup jauh dari feodalisme Jawa, demokratis, bahkan punya gen sebagai pelahir manusia-manusia Kota Pahlawan: sekarang misalnya—Persebaya-nya terpuruk dan cara penanganan pasca dibakarnya Pasar Turi justru mencerminkan karakter yang sama sekali bertentangan dengan semangat demokrasi, watak egaliter, budaya breh, opo anane dan sangat memalukan jika dilihat dari identitasnya sebagai Kota Pahlawan?
Kata wong cilik: hidup ibarat roda, kadang di atas, kadang di bawah. Itu bukan sekedar suratan nasib di mana manusia hanya menjadi obyek. Seringkali justru terjadi manusia menginisiatifi penindasan, penzaliman atau pemiskinan. Orang yang secara obyektif menurut pandangan nasib bisa berada di atas, malah terpuruk di bawah karena kekuasaan politik dan birokrasi atau berbagai jenis kekuasaan lain dari manusia atas manusia.
Suatu kelompok masyarakat merasa sedang unggul, sedang memegang jabatan dan kekuasaan, kemudian mereka sangat mantap dan meyakini keunggulannya atas kelompok lain dalam sebuah masyarakat dan Negara.
Nanti pasti tiba saatnya tawazzun Allah akan tiba dan para penguasa zalim akan mengalami, dengan semua kerabatnya yang makan butir nasi dan tetes air dari hasil penindasan: akan merasakan semacam balasan yang mungkin lebih parah tingkat kesengsaraannya dibanding yang dulu mereka tindas. Generasi Emas kesebelasan Inggris, demikian Adam Crozier pimpinan FA menjuluki kesebelasan serba bintang dari negeri asal sepakbola.
Kalah 3-2 dari Kroasia meruntuhkan seluruh harga diri rakyat Ratu Elisabeth. Air mata menghujani dan membanjiri negeri yang sudah dikepung lautan itu. Lord Mawhinney, Ketua Liga Sepakbola Inggris dengan sangat pilu mengakui bahwa yang emas itu ternyata loyang. Para ahli wirid meminjam kata-kata Allah ‘min haitsu la yahtasib‘ mereka akan menjumpaikenyataan jauh di luar yang mereka perhitungkan.Berbagai rekayasa tidak jujur, hati yang tidak adil dan pikiran yang tidak obyektif yang menimpa rakyat Indonesia di tengah himpitan dan timbunan masalah-masalah: lambat atau cepat akan mengalami produk dari ‘min haitsu la yahtasib’.
Allah lebih lanjut meladeni tantangan: ‘Innahum yakiduna kaida wa akidu kaida‘. Mereka melakukan tipu daya, dari lokal sampai internasional, dan mereka akan ‘kejagul’ karena Allahadalah Maha Penipu Daya. Tinggal rakyat yang ditipu daya itu mempercepat dengan tangis mereka kepada Allah atau membiarkan irama Allah berlangsung apa adanya.
Maka kaum muda Bangbang Wetan di Balai Pemuda Surabaya, yang bulan ini berlangsung lusa 27 November 2007: menghimpun hati yang adil, pikiran yang obyektif, mental yang tenteram, pendataan yang lengkap, analisis setepat mungkin, menabung infrastruktur mental kelas menengah perubah nasib bangsa karena Indonesia hari ini sungguh tak punya Kelas Menengah Pemikir yang sungguh-sungguh mateg ajimerancang perubahan: yang di atas hidup sangat enak dan pasti tidak mau berubah, yang di bawah kelelahan mikir sebutir nasi sehingga tidak mungkin dituntut memikirkan perubahan.
Padahal tidak ada toleransi lagi bahwa Indonesia wajib berubah ‘sak oyot-oyote‘. Makanya sekarang belajar rendah hatilah kita semua: kita sisihkan dulu kata-kata gagah untuk menyebut diri sendiri: emas, mutiara, super, mega, raja, ratu, pejuang ‘Surabayakanlah Surabaya!’
Surya, 25 November 2007
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
AléatoireSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...