Menuju Nasionalisme 2009

71 3 0
                                    

Banyak isu tentang krisis pangan dunia 2009, iklim global, ‘rencana’ bencana-bencana nasional dst, tapi saya kira Indonesia akan mencapai kecermelangannya di tahun 2009.

Perkara hutang luar negeri sebenarnya cukup mandatkan pada Kongres Akuntan Nasional, minta mereka berdiskusi kemudian kasih rekomendasi yang menunjukkan betapa simpelnya sesungguhnya masalah itu untuk kita atasi kalau kita mau.

Masalah kepemimpinan, kita berlimpah-limpah calon Presiden dan Pemimpin Nasional. Tinggal ambil dari teritori mana, golongan apa, parpol, suku, agama, dan apapun saja yang sangat siap dengan kandidat-kandidat Presiden. Bahkanpun kaum selebritis sangat siap memimpin Indonesia, terbukti dengan begitu banyak urusan yang dipercayakan kepada mereka.

Yang paling nyata adalah semakin tercapainya Persatuan Nasional menjelang 2009. Kita bangsa bersuku-suku, tapi cita-cita satu. Kita berbagai-bagai budaya, tapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tapi obsesi kita satu.

Anak-anak kita boleh pilih masuk kuliah di Fakultas Kedokteran, Ekonomi, Teknik, bahkan Tarbiyah dan Ushuludin: namun harapan hidupnya satu.
***

Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya. Ada kerbau, ada macan, berang-berang, buaya, cacing, badak dan jutaan macam hewan lagi, tapi cita-citanya sama: ingin terbang dengan pakaian kemewahan.

Macam-macam profesinya, macam-macam permainannya, beragam-ragam kostum dan ayat-ayatnya, namun obsesinya menyatu secara nasional, ialah menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif: ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada agama dan masyarakat. Dan mungkin benar awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu ketemu pintu-pintu gerbang keuangan: mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu.

Kalau anak-anak kecil dikasih iklim: ingin menjadi dokter, insinyur, presiden. Tapi ujungnya sama saja, yaitu menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi dokter, daripada sebaliknya. Kalau kerja 6 hari menjadi 5 hari, kelak kita runding bagaimana dalam seminggu kita kerja sehari saja dan libur 6 hari, kita sepakati asalkan gaji tetap seperti semula.

Orang memilih tidak kerja tapi dapat gaji daripada kerja tapi tak dapat gaji. Kalau sampai kerja tak dapat gaji maka ayat-ayat tentang hak buruh, HAM dlsb bertaburan di langit dan bumi. Tapi kalau terpaksanya kita balik: tidak kerja tapi dapat gaji, sebenarnya itu yang diam-diam lebih OK dalam hati.

Uang berlimpah jauh lebih menarik dibanding Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakekat dan metabolisme rejeki. Kalau melebar sedikit: orang diam-diam sudah makin sanggup meragukan Tuhan, tapi tak seorang pun memiliki keberanian untuk meragukan demokrasi. Orang lebih tertarik pada kekayaan dibanding kesalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.
***

Sejumlah orang akan membantah kalimat-kalimat ini. Tapi saya sendiri sudah terlalu tua untuk mampu membantah hal itu. Saya sudah udzur dan ditipu mentah oleh fakta-fakta kehidupan, sehingga sampai menjelang kepala-6 saya belum memulai apapun untuk memperjuangkan karier saya: jangankan lagi untuk menegakkan kebenaran.

Tentu saja kalau yang dimaksud karier adalah berkuasa, kaya dan terkenal: sudah lama—menurut ukuran saya dengan hidup tempe sambal dan menikmati cuci kaos piring: saya tidak memiliki problem apa-apa. Tapi yang saya maksudkan karier adalah mandat kekhalifahan dengan konten dan skala yang jelas yang sudah lama saya siapkan namun tidak ada gejala bahwa sejarah manusia ini memerlukan kualitas kesejahteraan hidup semacam itu.

Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia. Dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas: akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat infaq atau apapun. Jangan kawatir, tentu saja orang juga menikmati hubungannya dengan Tuhan, kenyamanan bernasionalisme, kesantunan sosial, estetika dlsb, tetapi itu semua sekunder. Yang primer di kepalanya adalah harus ada kenyataan bahwa ia berlimpah atau sekurang-kurangnya aman di bidang keuangan. Yang dimaksud aman itu takarannya begini: “Wah, rugi saya, ada proyek basah banget tapi gagal memenangi tender….”

Padahal dia tidak rugi apapun. Tidak rugi pun merasa tidak aman. Aman adalah laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dasar moral ilmu ekonomi di seluruh muka bumi ini sejak awal memang curang.

Di luar kaya, unsur lain popular juga: powerfull and famous, berkuasa dan terkenal. Tapi kekuasaan dan popularitas juga membawa visi missinya sendiri: merangsang manusia untuk lebih kaya dan lebih kaya.
***

Kekuasaan adalah jalan paling popular untuk mencapai cita-cita tunggal itu. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan dibanding apapun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apapun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.

Di sebuah propinsi saya diajak ketemu oleh seorang walikota, di saat lain oleh sekelompok pemuda dari suatu komunitas, juga di malam lain seorang pemimpin pembela kaum miskin urban—semuanya untuk agenda yang sama: yakni membicarakan nasib ribuan orang yang berumah di bawah jalan tol.

Tatkala ajakan itu disampaikan kepada saya, saya benar-benar sibuk menonton televisi yang menayangkan berita bahwa Pak Gubernur Propinsi itu sedang naik podium menyatakan akan mencalonkan diri menjadi Presiden mendatang. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor onta terpeleser nun jauh di sana namun masih di wilayah tanggung jawab kekhalifahannya. Ia begitu merasa bersalah. Agenda Pak Umar benar-benar berbeda dengan agenda Pak Gubernur.

Seputar Indonesia, 19 Oktober 2007

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang