JIKA tengah malam lewat, jadi menjelang dinihari, aku tergeragap bangun dari nyenyak tidurku. Segera aku mendengar isak tangis perempuan. Tentu saja aku tergopoh-gopoh. Kuangkat tubuhku dan kulihat istriku menangis.
”Mama” kataku.
Ia tidak menjawab, melainkan meneruskan isaknya.
”Ada apa, Mama?”
Karena ia perempuan, maka ia tidak langsung menjawab dengan penjelasan kata-kata.
”Mama mimpi?”
la mengangguk, sambil terus terisak-isak. Sudah barang tentu aku harus segera bertindak. Kupegang tubuhnya dan kucium sedikit keningnya.
“Mimpi itu kembang tidur, Mama,” kataku lagi. ”Kenapa kita harus dikalahkan dan dibuat menangis olehnya. Sudahlah, Mama tidur lagi. Tenangkan perasaan Mama. Papa kan selalu ada di sisi Mama. Jangan pusingkan mimpi. Ia tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keadaan kita yang sebenarnya.” Isaknya makin menjadi-jadi.
”Sudahlah Mama. Anggap saja ia kentut lewat. Kalau mimpi buruk, itu namanya setan kesasar. Kalau mimpi bagus, itu tandanya malaikat kangen sama kita. Tidur, tenanglah, Mama.”
Istriku malah menangis. Tidak hanya terisak, tapi betul-betul menangis dengan menggunakan suara. la bahkan menelungkup tubuhnya. Memeluk bantal.
Tetapi terus terang aku sudah agak kesal dengan soal mimpi-mimpi ini. Soalnya hampir tiap malam itu terjadi. Kalau toh misalnya aku tak terbangun pada saat menangis, esok paginya, mula pertama yang akan diceritakannya dengan riuh tidak lain adalah perihal mimpinya.
”Mama, Mama, maafin Papa, ya?” aku makin erat memegang dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Tangisnya makin menjadi. Ini sangat wajar, sebab dia kan seorang perempuan. Kalau misalnya aku merasa kesal karena sifatnya itu dan lantas, umpamanya, membentaknya, maka akan bertambah satu soal lagi yang harus kubereskan. Jadi ada dua tingkatan tangis yang harus perlahan-lahan kuredakan. Maka aku lebih baik sedikit bersabar. Seorang suami harus penyabar. Karena tangis dan kemanj aan seorang istri yang telah ia miliki dan memilikinya, bisa jadi lebih merepotkan dibandingkan perlawanan oposan politik jika, misalnya, aku adalah seorang kepala negara.
“Mama, Mama marah?” kataku lagi terbata-bata. Alhamdulillah, sesudah berulangkali kutunjukkan rasa penyesalanku dan permohonanku yang sangat akan pemberian maafnya, akhirnya tangis mereda juga.
”Mama mimpi apa?”
Istriku membalikkan tubuhnya. Dengan muka yang penuh airmata, dengan wajah yang mengibakan dan dengan sorot mata yang amat meminta perlindungan, ia memelukku–suaranya polos.
Aku membalas rangkulannya. Kuusap pipinya dan ku- tepuk-tepuk punggungnya. Di dalam hati aku sedikit menertawakan nasib laki-laki pada keadaan semacam ini, tetapi bagaimanapun ini adalah suasana religius bagi seorang suami yang telah membelah hidupnya untuk nyawa sang istri.
Sebelumnya aku mohon maaf kalau ia memanggilku dengan papa dan aku memanggilnya dengan mama. Sungguh mati ini bukan mencerminkan kemodernan kehidupan kami. Kami ini keluarga miskin, makan minum pas-pasan, gaya hidup sehari-hari bahkan cenderung kedesa-desaan. Dalam banyak hal sesungguhnya kami memilih hal-hal yang cenderung jelata. Ini karena cita rasa kami, tetapi juga karena kondisi sosial kami. ]ika istriku memanggilku dengan papa, itu sisa dari masa silamnya. Ia sebenarnya termasuk anak orang kaya, sehingga banyak perbendaharaan, kerinduan dan gaya perilakunya memang berasal dari kalangan itu. Memanggil suaminya dengan papa tidak bisa dihindarkan dari segala yang bertumbuh dari lingkungannya. Untunglah ia perempuan yang nrimaan, tidak pernah menuntutku berdasarkan pengenalan masa silamnya itu. Ia cukup punya kepolosan hidup, di samping kejujuran dan sedikit keberanian terhadap kenyataan dirinya sendiri. Perlu kusebutkan ia berhubungan denganku tanpa restu keluarganya. Ini tentu saja merupakan beban yang amat berat baginya. Kesatuan batinnya dengan ibu-bapak dan seluruh keluarga tak mungkin diuraikannya, sementara itu ia tidak mungkin menipu diri untuk hidup tidak denganku. Ia bahkan bersedia kuajak hidup kayak begini. la tidak malu kuajak ke Warung paling murah, campur dengan tukang-tukang becak. Bahkan ia juga bisa kuajak untuk berjalan berkilo-kilometer dengan sesekali meloncat pagar. Sungguh kesediaan ini saja sudah merupakan anugerah Tuhan yang tak terhingga di tengah gadis-gadis zaman sekarang yang berbau salon dan terbungkus oleh berlapis-lapis gengsi. Oleh karena itu apakah aku akan menolak ia memanggilku dengan papa. Sebuah kata tidak langsung berhubungan dengan gaya hidup kaum elite atau pop yang banyak ditakuti oleh handai-tolanku. Dan aku toh tak bisa memaksanya untuk memanggilku dengan pak ne sementara aku memanggilnya dengan mbokne. Merelakan dipanggil papa yang sebenarnya memang membuatku merasa risi di tengah sahabat-sahabatku, kuanggap sebagai pengorbanan kecil tetapi kurasakan ia termasuk suatu ritus persuami-istrian. jadi maafkanlah. Itu toh hanya sebutir debu saja dibanding dengan sekian banyak pengorbanan yang mesti diberikan oleh laki-laki liar macam aku ketika harus memutuskan untuk berbagi nyawa dengan makhluk perempuan. Apalagi jika perempuan itu adalah istriku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
De TodoSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...