Warga negara dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mengambil keputusan untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif bukanlah orang-orang yang sedang bermain-main di dunia politik.
Paling tidak ada dua indikator bahwa mereka tidak main-main. Pertama, mereka rela berkorban uang dalam jumlah yang kebanyakan berada di luar jangkauan mereka sendiri. Untuk itu mereka harus menerapkan salh satu dimensi “sufisme”, yakni “rela kehilangan dunia”. Bukan sekadar mengeruk habis uang yang mereka punyai, menjual rumah, tanah, toko atau perusahaan. Mereka bahkan rela hutang. Secara sufistik mereka ikhlas berposisi tak hanya kehilangan dunia, tetapi juga dikubur oleh tumpukan dunia yang berpiutang kepada mereka.
Tanda kedua adalah kebanyakan mereka bukan penganggur yang men-caleg-kan diri demi ikhtiar penghidupan atau meningkatkan karier, akses, dan modal. Banyak dari mereka sudah sukses menjadi pengusaha. Ada yang Ulama mapan dengan segmentasi umatnya. Ada yang artis sangat termashur yang sudah kaya dan berkecukupan, sehingga apa yang sudah dimilikinya tak akan bisa ditambahi apa-apa dengan dia menjadi wakil rakyat.
Kalau tidak karena mereka diamanati Tuhan untuk memperjuangkan sesuatu yang mulia dan tinggi derajatnya, mana mungkin mereka begitu mudah dan rido mengorbankan kepengusahaannya, keartisannya, keulamaannya dan berbagai macam hal yang sudah mapan pada diri mereka.
Jadi, apa yang mereka lakukan itu pasti sebuah perjuangan yang sakral. Suatu ekspresi dari kesadaran kenegarawanan dan cinta rakyat. Suatu output dari keterpanggilan oleh situasi-situasi zaman yang membuat mereka tidak bisa tidur nyenyak atau berleha-leha menikmati apa yang mereka sudah capai. Mereka adalah penerus akselerasi kesekian dari para Rasul dan Nabi, pelanjut derita perjuangan tokoh-tokoh dunia yang menciptakan sejarah dan mencahayai peradaban.
***
Sebelum pemilihan, para caleg yang kepada rakyat memberikan uang, karpet pengajian, pesawat televisi, tiang listrik, pengaspalan jalan, jembatan, rebana, dan bermacam-macam lagi. Sebenarnya bukan maksud mereka untuk menonjol-nonjolkan diri, tetapi mereka harus berkorban agar masyarakat mengetahui dengan mata kepala sendiri bahwa mereka membutuhkan wakil yang mencintai mereka, yang orang baik dan dermawan, kalau perlu siap mengorbankan nyawa mereka demi kepentingan rakyat yang suci.
Juga kemurahan pemberian itu sangat gamblang menunjukkan betapa para caleg ini bukan manusia mata duitan. Tidak gila harta. Mana mungkin orang yang mata duitan malah bagi-bagi duit. Mustahil orang gila harta malah membagi-bagikan harta. Apalagi dalam jumlah yang sangat melimpah-limpah untuk ukuran masyarakat kebanyakan.
Dan sebenarnya semula mereka memang tulus ikhlas memberikan uang dan harta benda itu. Cuma karena masyarakat banyak yang memfitnah bahwa para caleg itu berpamrih, membagi-bagikan uang dan harta demi memenuhi ambisinya jadi wakil rakyat—maka muncul kemuliaan spiritual dari kesadaran batin para caleg itu.
Memang serba salah dan dilematis kalau sudah bicara pamrih. Mana mungkin hidup tanpa pamrih. Mana mungkin menanam padi tanpa pamrih panen dan menanak nasi tanpa pamrih nasi akan matang. Tetapi, hendaklah khalayak ramai belajar menyadari bahwa pamrih dengan pamrih ada bedanya. Motivasi individu dan egoisme ada bedanya dengan perjuangan sosial. Mestinya rakyat mulai membuka diri pada kesadaran bahwa para caleg itu memang berpamrih, tetapi pamrihnya adalah memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangkan nasib mereka sendiri.
***
Kalau ada orang memfitnah kita, maka ia berdosa dan tidak bisa menghindar dari neraka. Satu-satunya jalan untuk membebaskan mereka dari neraka adalah mengubah fitnah itu menjadi tuduhan yang mengandung kebenaran. Kalau para caleg itu tetap bertahan membagi-bagikan uang harta tanpa pamrih, maka posisi masyarakat adalah pemfitnah. Maka supaya masyarakat berubah dari status pemfitnah menjadi pengungkap kebenaran, para caleg itu terpaksa berpamrih, demi keselamatan masyarakat yang semula memfitnahnya.
Itulah sebab dan latar belakangnya kenapa sesudah pengumuman pilcaleg, banyak di antara para caleg yang tidak terpilih lantas meminta kembali uang dan macam-macam harta itu dari masyarakat. Demi memerdekakan masyarakat dari dosa fitnah dan dahsyatnya api neraka, ada caleg yang rela berkorban berkeliling dari rumah ke rumah penduduk membawa cangkir sambil berkata: “Kembalikan uangku, kembalikan uangku!”.
Lebih dari sekadar membebaskan masyarakat dari dosa fitnah dan api neraka, para caleg yang gagal masuk dewan itu juga sekaligus diam-diam melakukan pendidikan moral dan pendidikan politik kepada rakyat. Dengan mereka meminta kembali uang dan harta itu, mereka membuka perenungan kepada khalayak ramai. Seharusnya yang terjadi adalah mereka terima saja uang dan harta itu, tetapi tak perlu ada yang membuka mulut untuk memfitnah. Namun, karena mereka terlanjur memfitnah, terpaksa para mantan caleg berkorban sampai sejauh itu.
***
Juga suatu pendidikan moral bahwa kalau seseorang sudah menerima uang atau harta dari seorang caleg, maka ada dua kewajiban yang dipanggulnya.
Pertama, memastikan diri bahwa mereka akan memilih caleg pemberi uang dan harta itu. Kedua, tidak bersedia menerima uang dan harta dari caleg lain.
Ini masalah akhlaqul karimah. Urusannya tidak hanya antara caleg dengan penerima uang dan harta. Juga tidak sekadar antarsesama warga negara, bangsa, dan umat manusia. Tetapi, juga jangan lupa urusan utamanya justru adalah dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam ajaran Agama apapun, Tuhan tidak suka kepada orang yang tidak berterima kasih, tidak bersyukur, apalagi mengkhianati caleg yang sudah menyogok mereka.
***
Pilcaleg dan Pilpres maupun Pil-pil lainnya itu bukan urusan profan keduniawian belaka, melainkan sakral, khusyu’, vertikal dan spiritual. Ini Pemilu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Pancasila. Jangan samakan dengan pemilu-pemilu negara lain di muka bumi yang hubungannya dengan Tuhan hanya setengah-setengah. Pemilu Indonesia adalah ibadah. Setiap rupiah yang disampaikan oleh caleg dan capres ke tangan rakyat mengandung muatan religiositas yang mendalam. Setiap ucapan caleg dan capres bermakna bagai orang berthawaf atau melakukan sa’i. Setiap gerak tangan dan jari-jemari mereka dilatari oleh wibawa nubuwahpara Nabi, magi risalah para Rasul, serta kesaktian batin para Masyayikh.
Inilah sebabnya Tuhan mengizinkan gambar wajah-wajah mereka terpasang di mana-mana seluruh kota dan desa. Kalau Tuhan tidak mengizinkan, pasti tak akan terpasang. Sungguh riang gembira hatiku merasakan kesegaran demokrasi di Negara Indonesia pemimpin dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...