Kamar yang tadinya sepi kini kembali diisi suara setelah si pemilik kamar terbangun dari tidurnya. Dev, nama pria itu, membuka matanya dengan satu hentakan napas yang membuat dadanya terasa sedikit sesak.
Butuh waktu beberapa menit untuk segalanya menjadi normal baginya. Ia menarik napas panjang sekali lagi untuk menenangkan diri, lalu merangkak keluar dari dalam selimut dan duduk di pinggiran tempat tidur.
Dev, pria berumur 27 tahun ini tidak menyangka ia harus mengalami mimpi semacam itu lagi. Ia sendiri sudah lupa kapan terakhir kali ia bermimpi tentang ayahnya, yang di dalam mimpinya selalu memiliki kekuatan aneh, lalu berakhir dengan dirinya mati ditabrak mobil, ditabrak kereta, ditabrak motor, dan pernah juga sekali ia berakhir dengan ditabrak sapi yang entah bagaimana bisa jatuh dari langit.
Di kehidupan sebenarnya, ayahnya pergi saat Dev masih berumur tiga tahun, sementara ibunya sedang mengandung June, adiknya. Ia sendiri tidak ingat mengapa ayahnya pergi. Ayahnya tidak pernah, atau mungkin tidak sempat untuk berpamitan. Lalu Dev, ibu dan June terbiasa hidup tanpa ayahnya. Ibunya juga tidak pernah membicarakan hal ini, kecuali sesekali berkata "ayah kalian pergi karena suatu alasan yang tidak akan bisa kita mengerti" tiap kali June kecil bertanya. Ibu tidak marah, hanya sedih, itupun ia sembunyikan sebisa mungkin. Setelah cukup dewasa, Dev dan June juga tidak pernah bertanya lebih jauh, mungkin karena itu selalu membuat ibunya sedih. Yah, mungkin nanti ibu mereka akan bicara jika sudah waktunya.
Tiap kali Dev berusaha mengingat kembali ingatan terakhir dirinya tentang ayahnya, Dev selalu sakit kepala. Entah mengapa ia tidak mengingat apapun, bahkan secuil kenanganpun. Sampai-sampai, Dev tidak pernah ingat wajah ayahnya. Kalau saja di ruang keluarga mereka tidak ada potret kecil ayahnya, Dev sendiri tidak tahu bagaimana wujud pria itu. Apalagi June, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu ayahnya. Bahkan ia tidak tahu bagaimana rasanya disayangi oleh seorang ayah. Sejak dulu, baginya Dev adalah abang sekaligus ayahnya, dan itu cukup. Meskipun mereka tidak selalu akur, itu sudah cukup.
Karena tidak pernah tahu tentang ayahnya itu lah, Dev sewaktu kecil jadi sering membayangkan jika ayahnya pergi karena suatu tugas penting untuk menyelamatkan umat manusia, atau semacamnya. Dan beberapa pikiran-pikiran itu terwujud dalam mimpinya dulu.
Setelah meresa lebih tenang, Dev bangun dan merapikan tempat tidurnya. Ia lalu membuka jendela dan berniat mencuci muka setelahnya. Pada saat berjalan ke toilet, tanpa sengaja ia menginjak salah satu action figure Iron-Man miliknya yang entah bagaimana bisa tergeletak di lantai.
"Aaaah!" Dev berteriak kesakitan sambil memeriksa kakinya yang memerah. Dan ia berteriak lebih keras lagi ketika melihat mainan seharga ratusan dolar miliknya itu kini terpisah badan dengan lengannya. Dev tahu siapa pelaku kejahatan yang sudah mengeluarkan mainan itu dari kotaknya, lalu meletakkannya di lantai begitu saja. Itulah yang terjadi ketika ia tidak mengunci pintu kamarnya ketika pergi kemarin.
Kamar Dev ini seperti toko mainan kecil. Selain puluhan action figure, Dev juga memiliki banyak mainan lainnya. Semacam lego, play station, xbox, dan beberapa mainan anak-anak lainnya yang ia beli hanya karena iseng.
Satu-satunya tempat yang bersih dari segala macam mainan tersebut adalah bagian kamar di sekitar tempat tidurnya. Area yang menempati sepertiga ruangan itu hanya berisi rak-rak tempat komik dan buku, serta satu tempat tidur. June kadang tidur ikut di sini bersamanya ketika ada badai, atau mati lampu, atau ketika ia ingin main game.
Dalam hal komik dan novel-novel sci-fi, Dev bisa dibilang cukup terobsesi. Terutama akan cerita superhero. Bahkan sejak kecil, ia percaya jika di antara manusia biasa, terdapat beberapa orang yang ditakdirkan memiliki kemampuan istimewa seperti dalam cerita-cerita itu. Namun semakin dewasa, sama seperti cerita santa, ia juga membuang jauh pemikiran semacam itu.