Anak Polah Bapak Kepradah, Bapak Polah Anak Kepradah

349 2 0
                                    

Di wilayah “Kerajaan” Jawa, zaman sedang beralih. Ruang terguncang, waktu tak lagi berlenggang. Irama meninggalkan gamelan, sorot mripat bergeser arah tujuan.
        Para priayi tak rekat lagi di kursi, disembah dalam kenangan di larut hari. Karena semut bisa sebesar sapi, wahyu tumpah di hutan dan sungai.
Bebauan apa, disebar angin yang tak lagi murni?
        Api menyala di mana-mana. Beratus kambing nongkrong di kereta kencana. Sang Gajah tinggal sebelah taringnya.

       Thole! Thole! Ayolah cancut tali wamda! Ada perawan telanjang di alun-alun utara, bebas diperebutkan siapa saja!

*

       Wong cilik jadi barang mewah. Kawula memancar sebagai emas mahal. Sebab siapa pun ingin menjadi priayi. Naik undang pergi nglams, diampirkan oleh para abdi di pakuwon-pakuwon.
        Priayi dengan dasamuka: jabatan tinggi, kekayaan tak berpagar selesai, kekuasaan yang nggegirisi, etc. Andongnya Honda Civics, nglaras-nya nite-club dan steambath. Abdinya para bawahan, pakuwonnya jaringan kekuasaan.
        Nanti kalau ketemu Gusti Allah, aku minta digendong!
        Gusti Allah-nya kekayaan, donya brana. Hanya itu yang bisa nggendong, menyelamatkan. Hanya itu yang namanya gamelan berdentang, menggugurkan ketegangan, mengayemkan semua otot dan gerakan, menenteramkan semesta alam, mengamankan kehidupan.

Seorang tua berkata:
Aja gupuh-gupu, Thole, aja ngaya-aya
Jagad iki amba, ana dina ana upa
Jangan tergesa-gesa, Nak, jangan diri dipaksa
Jagat ini luas, ada hari ada beras

Sang Anak menjawab:
Inggih, Rama, ana sabda ana memala
mBoten gupuh menawi sampun ngrentengi donya brana
Iya, Bapa, ada sabda maka ada celaka
Tak tergesa jika memang sudah sangat kaya

       Sang anak tak lagi percaya. Bakal terlindas barang siapa yang hidup aIon-aIon asal keIakon. Hari-hari tidak menjamin benar, maka tenaga, siasat, dan keringat harus diperas.
        Sang anak melemparkan sabda. Ada yang tak beres dengan yang telah diwariskan oleh orang tuanya. Di zaman yang beralih rupa, gugon-tuhon berganti makna, nilai dan tujuan tak lagi sama. Dan itulah warisan Bapaknya. Kalau sekarang para orang tua terus berlagak dengan petuang-petuah lama, itulah celaka namanya.

       Sang Bapak mengisap rokok kretek. Menghirup kopi tubruk. Mengisap pentil susu bumi. Mengirup samudra. Glegeken ludahnya Gusti Allah.
       Yang diisap pentil susu bumi, karena langit dianggap tak punya lagi pentil. Harapan tak ditunggu dari langit, bahkan kemungkinan besar memang tak ada langit. Samudra dihirup, karena tak cukup hanya air segelas yang diteguk. Glegekan ludahnya Gusti Allah, karena Gusti Allah kemarin berbeda dengan yang dimiliki hari ini.

Sang Bapak berkata:
Hiduplah seperti gamelan yang gandem
Nguntal telor setengah matang, nguntal cindil
Menggenggam jagad, di-leg dadi sakrikil
Gung Iewang lewung ngudang perkutut manggung
Nyunggek mbulan ani-ani lintang
Para widadari tak wadahi kranjang
Thole! Hidup itu mesti seneng
Daripada tak senang kan lumayan seneng!

Sang Anak menjawab:
Bapak! Musik kami rock’n roll
Kami telan telormu yang setengah matang
Kami jadi anak tikus, kau makan dengan rakus
Kami justru digenggam jagatd
Jiwa sesek, tubuh ringsek
Menjadi kerikil tercampak ke tengah jalan raya
Bapak! Hostes Mince perkututmu
Hotel bertingkat panggungmu
Kau gugurkan buah suci rembulan
Kau rampas bintang kemuliaan
Bidadari Eropa dan Jepang
Meluncuri tenggorokan
Tapi baiklah Bapak! Kami akan senang
Daripada bingung menghitung hutang-hutang kebudayaan
Lebih baik bernyanyi mabuk kepayang!

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang