Rakyatku Dibunuh!

57 1 0
                                    

Seharian Sabtu kemarin saya mendapatkan kehormatan untuk menjadi sopir kendaraan yang mengantarkan sejumlah teman wartawan Ibukota ke rumah keluarga Fuad Muhammad Syafrudin, almarhum wartawan Bernas, di Bantul, selatan Yogyakarta. Diiringi juga oleh keluarga Bernas serta banyak wartawan setempat, acara kunjungan dan penyerahan tanda simpati itu, sungguh-sungguh mengharukan. Yang menusuk hati bukan hanya kematian Mas Udin, tapi juga keseluruhan situasi Indonesia ini sendiri.

Baru sejam yang lalu, di malam nahas itu, Mas Udin Brewok bercanda dengan teman-teman di kantor. Kemudian pulang ke rumah, membelah kota Yogya dan menelusuri Jl. Parangtritis, berjumpa anak istri—tiba-tiba ada tamu. Marsiyem sang istri membukakan pintu, kemudian masuk ke rumah kembali. Mas Udin menghampiri tamu, yang badannya cukup besar tinggi dagingnya gempal liat wajahnya bersih serta bertutur kata halus—tapi hanya beberapa detik kemudian sang Udin tersungkur, tanpa sempat berteriak.

Marsiyem memegangi setrika ketika ia mendengar bunyi semacam benda berat terjatuh. Ia berlari keluar. Dan ternyata yang ia jumpai adalah suaminya yang tersungkur. Luka di badan depannya dan di dua samping kepalanya. Darah bukan hanya mengalir dari telinganya, melainkan—masya Allah—muncrat! Marsiyem berteriak-teriak.

Semua tetangga panik dan berdatangan. Tak ada sepatah kata pun yang sejak itu terdengar dari mulut Mas Udin. Ia hanya sempat beberapa kali menganggukkan atau menggelengkan kepala, tatkala diangkut ke rumah sakit dan kemudian tak bertahan hidup sesudah tiga hari.

Sangat menakjubkan Indonesia Raya ini.

Rumah Mas Udin ini semacam kios atau ruko kecil di sisi barat jalan arah Yogya-Parangtritis. Gajinya sebagai wartawan yang sangat minim memaksanya untuk mendirikan usaha foto kecil-kecilan. Pilihan cat depan ruko itu serta seluruh pemandangannya sangat mencerminkan bukan hanya tingkat kehidupan yang pas-pasan dari sang penghuni. Tapi juga menjelaskan kesungguhan dan ketekunan seorang karyawan kecil.

Jika malam, di seberang ruko itu ada penjual bakmi, sehingga situasinya relatif selalu ramai dan banyak orang. Di kiri kanannya rumah dan ruko-ruko juga berdempetan. Bohlam bagian depan ruko Mas Udin juga selalu terang benderang jika malam. Dan inilah yang menakjubkan! Lelaki itu sangat berani melakukan penganiayaan itu di tempat dan situasi yang seperti itu. Beberapa menit sebelumnya bahkan tetangga sebelah kiri baru saja melintas pulang beli bakmi. Tapi belum sempat ia mencicipi, terdengar teriakan Missis Marsiyem. Udin terkapar dan sang penganiaya telah dengan sigap berlari ke arah utara, di mana motor telah menunggunya untuk segera tancap dan menghilang.

Keberanian penganiaya itu pasti tidak terutama bersumber dari kadar ketangguhan mentalnya sebagai lelaki. Melainkan dari sangat rendahnya kadar budaya hukum dalam tradisi dan psikologi masyarakat. Jaminan atas keamanan hukum bagi warga negara sedemikian rendahnya, sehingga kalau tidak sangat terpaksa—seseorang tidak akan bersedia melibatkan diri dalam peristiwa yang berbau hukum. Bahkan seandainya pun yang ada di depannya adalah peristiwa di mana seorang hamba Allah sedang terkapar, mengeliat-geliat kesakitan dan sekarat.

Setiap warga negara yang bersemayam di kereta tradisi kekuasaan, paham benar situasi psikologi dan budaya hukum masyarakat semacam itu. Sehingga besar hati dan ketegaannya untuk melakukan kejahatan sekasar apapun, sekejam apapun, dan sevulgar apapun. Jauh di dalam hatinya, ia sudah sangat pandai meremehkan orang banyak. Dan untuk itu tak perlu ada keheranan apapun dari perasaan Anda. Karena jangan atas manusia biasa dan masyarakat—sedangkan Tuhan dan nilai-nilai-Nya saja pun sudah selalu sangat mereka remehkan, dan dengan terang-terangan.

Demikianlah, kami serombongan orang sedih—sepanjang hari itu menelusuri kekaguman kami atas situasi negeri yang kami cintai. Kami bertemu dengan keluarga almarhum. Anaknya yang pertama, 8 tahun, sudah bisa mengerti apa yang bernama kematian, dan apalagi ia sempat menunggui bapaknya di rumah sakit. Tapi putranya yang kedua, yang setiap bapaknya hendak pergi bekerja selalu menyempatkan untuk memboncengkan si bungsu ini dengan motornya berkeliling—selalu menanyakan “Mana Bapak? Kok Bapak belum pulang?…”

Kami berziarah ke kuburnya. Kami termangu di sekitar TKP, tempat di mana Mas Udin dimuliakan oleh Allah sebagai syahid—saksi atas kebenaran yang dilanggar, dan ia membayarkan kesaksian itu dengan nyawanya. Ya Allah, fuad telah pergi. Fuad itu qalb, artinya hati atau nurani. Yang banyak diseret dan dibawa ke mana-mana, misalnya untuk melacak sesuatu, bukanlah qalb, melainkan kalbKalbartinya anjing.

Kami berdoa—ya Allah, kirimkan para malaikat-Mu untuk mengepung wilayah keluarga Pak Wagiman, Yu Marsiyem dan semua yang ditinggalkan oleh Mas Udin. Perintahkan kepada mereka agar melindungi keluarga ini dari dendam-dendam aneh dan kejumawaan berikutnya, sebab penderitaan mereka sudah cukup mendalam. Ya Allah, perkenankanlah hari ke-24-Mu untuk menguakkan tabir peristiwa ini.

Apakah Anda cukup seksama membaca berita-berita mengenai kasus ini? Misalnya soal “temukan siapa dalangnya”. Soal pernyataan Kepala Polisi setempat bahwa “tidak ada dalangnya” meskipun belum ditemukan pelakunya. Soal konteks dan prakiraan motif penganiayaan yang berhubungan dengan tema berita-berita yang dibuat oleh almarhum.

Siapakah yang paling merasa kehilangan Mas Udin? Anak-anak dan istrinya, serta seluruh keluarganya.

Siapakah yang paling terpukul oleh pengorbanan Mas Udin atas idealisme kewartawanannya? Adalah warga Bernas, adalah kaum wartawan senusantara, adalah PWI.

Siapakah yang paling tersinggung dan semestinya merasa berang atas hilangnya seorang warga yang bernama Fuad Muhammad Syafrudin? Jawabannya adalah: Kepala Daerah Kabupaten Bantul. Beliau adalah bapak semua warga dan penduduk kabupaten “projo tamansari”. Kalau ada satu anaknya dilukai, dianiaya, atau apalagi sampai terbunuh mati—maka sang Bapaklah yang pertama-tama akan mendongakkan kepala, mengangkat tangan, mengepalkan tinju dan meneriakkan tekad untuk membelanya, “Hei! Siapa yang berani-berani menganiaya dan membunuh rakyatku?!!!” Tapi itulah yang belum terdengar atau terbaca di koran.

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang