Alat Pendingin dan Pemanas

53 1 0
                                    

Oplah kipas melonjak selama hari-hari lebaran. Sebab agar tak terlampau sumuk ketika berjejal-jejal di kendaraan mudik yang over weigth, Anda perlu beli kipas.

Dalam kebudayaan tradisional maupun modern, kipas berfungsi sebagai alat pendingin.

Tapi kalau membakar sate, Anda juga pakai kipas, agar bara api itu lebih tinggi daya bakarnya. Jadi ternyata kipas juga berfungsi sebagat alat pemanas. Ia air conditioner, juga heater.

Yang pasti: kipas itu besar jasanya kepada manusia.

Kalau Pak Pamong ngerem-ngeremrakyatnya, “Hendaknya kalian bersabar dengan tahap-tahap pencapaian pembangunan,” itu beliau mengipasi gerah ekonomi rakyatnya supaya agak sejuk. Atau di saat lain beliau “membakar sate”: “Hendaknya rakyat meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan!” Itu upaya membakar semangat, memanaskan gairah pembangunan, menghangatkan progresi darah penjuangan untuk menyukseskan Pelita-Pelita.

Seluruh komponen masyarakat, terutama para pemuka, sebisa mungkin menggerak-gerakkan pengipasan demi kemajuan pembangunan.

Daya guna “Kipas Nasional” itu di-support oleh sistem dan metode kipas yang lain. Media massa ikut mengipasi pemanasan semangat atau terkadang pendinginan psikologis dari sesak sosial ekonomi atau pengap sosial politik.

Para mubaligh, ulama, pastor, khutbah-khutbah, pidato, pengajian, seminar, atau omong sehari-hari, sesungguhnya merupakan mekanisme kipas-mengipasi agar diperoleh kenyamana atmosfer sosial.

Dulu Nabi Muhammad adalah seorang tukang kipas yang luar biasa. Selama berlangsung “sekatenan” di sekitar Ka’bah dari tahun ke tahun—sementara orang lain baca sajak, menawarkan dagangan atau teler menari-nari—Rasulullah yang berwajah ganteng dan bertubuh atletis itu beredar dari kerumunan manusia ke kerumunan yang lain untuk mengipasi mereka dengan informasi tauhid.

Hembusan angin dari kipas tauhid Muhammad itu menyebar makin luas dan menenteramkan menyejukkan hati makin banyak orang. Sampai-sampai wong cilik seperti Bilan bin Rabah, berkat kesejukan tauhid itu, berani melawan Umayah, juragannya. Bilal bersedia disiksa atau diapakan saja demi mempertahankan tanah “kehidupan”-nya.

“Tradisi kipas” itu hidup subur selama keberlangsungan komunitas Islam di zaman Nabi dan Khulafa Rasyidin. “Kipas” itu memiliki substansi: mengemukakan apa yang benar, mengajak orang untuk membela kebenaran dan melawan kemungkaran, asyiddaʼu ʻalal kuffar, ruhamaʼu bainahum, melawan orang-orang yang mengingkari kebenaran, berkasih-kasihan sesama kaum tertindas, mustadhʻafin.

Khalifah Umar bin Khaththab misalnya, sebagai pemimpin nomor satu, menyediakan peluang amat luas bagi “kipas kebenaran”. Beliau bersedia dikritik di depan umum, kapan saja dan di mana saja. Itu bukan soal berat bagi beliau, sebab beliau ikhlas, tak punya pamrih politik atau ekonomi, sehingga tak perlu mempertahankan ketidakbenaran dengan memanfaatkan para prajurit kecil yang sebenarnya tak memperoleh apa-apa daru tugas yang memedihkan hatinya itu.

Bagi Abu Jahal, yang namanya berarti “bapak kebodohan”, kipas Muhammad itu dilihat sebagai hasutan. Padahal hasad yang merupakan akar kata “hasut”, memiliki konotasi negatif. Orang yang membisiki orang lain agar mempertahankan kebenaran dan mulia kedudukannya. Asalkan ia pakai cara yang hasanah serta dengan hikmah.

Dalam segala sejarah, selalu ada “Bilal-Bilal” yang jumlahnya sangat banyak. Di abad pertengahan Eropa, banyak sekali Bilal. Di Afrika, Amerika Latin, Suriname, Rusia, Kerajaan Singosari dan Majapahit, dan lain-lain, banyak sekali Bilal-Bilal. Apabila muncul “Muhammad-Muhammad”, biasanya para “Abu Jahal” segera memobilisasikan gerakan antikipas.

Ini keanehan. Sebab dengan begitu kehidupan jadi semakin sumpeg dan gerah. Lha wong sumpeg kok senang. Sungguh itu tak sesuai dengan Pancasila.

Yogya Post, 4 Mei 1990

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang