Kepada Kelahiranku yang Tercinta

89 1 0
                                    

OMONGAN Rul makin jelas arahnya. Aku akan makin ditelanjanginya dan ia kelihatannya punya bahan cukup lengkap untuk itu. ”Pada akhirnya, setiap orang mesti bersikap. Bahkan terhadap Tuhan pun. Lambat atau cepat, hanya soal Waktu,” katanya. Aku membuang muka.

Rul makin lekat menempelkan tangan kirinya ke punggungku. Harus kuakui dengan jantan bahwa itu tak bisa kuelakkan. Sebenarnya aku punya harga diri yang tinggi, semacam keangkuhan, tapi setiap perempuan pada akhirnya akan menyadari bahwa keangkuhan hanyalah selapisan amat tipis dari kebutuhan perasaannya yang sebenarnya. Jika rangkulan tangan itu suatu nasib buruk, maka aku lebih buruk nasib lagi. Bahwa aku bisa diseret Rul ke sini, sebuah bangku sepi di bawah pohon Kaliurang, jelas adalah kemenangannya. Kemudian ia makin merapat, dan perasaanku justru membutuhkannya sebagai hal yang menyenangkan, terang merupakan nasib lebih buruk dari harga diriku. Baiklah.

”Kau tak sependapat denganku, Lia?” suara Rul lagi.
Aku menarik napas.
Angin menyapu keras. Rambut Rul yang panjang bergerai. Sentuhannya di mukaku membuatku makin tak bisa mengelakkan kenyataan bahwa perasaanku memang sedang bergolak.
”Atau, kaumarah padaku?” Rul mencengkam tubuhku.
Perasaanku tersirap. Tiba-tiba saja tanpa kusadari tanganku meremas pahanya. Rul membikinku makin jadi perempuan. Ia menimpa tanganku itu. Meremasnya. Aku berusaha melepaskannya, tapi gerakanku tiba-tiba saja kuurungkan, seperti atas kehendakku sendiri dari dalam. Rul makin mencekam tanganku dan aku menunduk.
”Lis”
”Ya”
”Kau marah?”
Aku menggeleng.
”Kausependapat denganku, bukan?”
Sekali lagi aku menarik napas.
”Secara prinsip tentu saja aku setuju.”
”Dan secara apa kautak setuju?”
”Jika prinsip mulai diterapkan ke dalam kenyataan, yang sering punya hal-hal khusus, maka ia akan menemukan bentuknya yang lain.”
Rul melepaskan tanganku dan menyibakkan rambut dari keningku. Kekalahanku makin berlanjut-lanjut.
”Kaubenar. Tetapi, serumit-rumit persoalan, ia tak berhak melunturkan prinsip. Aku melihat sebagai wanita kaupunya kekerasan dan sikap jantan. Kenapa terhadap hal ini kaudiam?”
Ini lebih dari menelanjangi. Kini Rul telah melanjutkannya dengan memberi ide. Ia makin menantangku. Ia mendorongku untuk melakukan sesuatu yang tak kecil. Di satu segi ini merupakan kelancangan atas hakku. Memang mungkin bisa merupakan langkah yang baik bagiku dan bagi keluargaku. Tetapi, jelas ini memedihkan semuanya. Semuanya!

Tetapi, aku hanya tunduk saja terhadapnya. Harus kuakui dengan jantan Rul mulai mampu menaklukkanku. Sesungguhnya aku tidak cukup perempuan. Aku tidak pernah merengek pada laki-laki dan kecengengan yang menjadi ciri perempuan adalah sifat paling kubenci. Telah lama perasaanku tak bisa menangis lagi. Aku berpakaian dan berlagak laku lelaki. Aku tak sudi berpegangan tangan lelaki Waktu jalan bersama dan aku melarangnya merangkulku di becak. Perlindungan laki-laki? Pwuhh!

Tetapi, kini aku mulai gugur. Rul datang dalam hidupku, perlahan-lahan menggedor keangkuhanku, menggenggamku, membanting dan mencairkanku menjadi perempuan. Perasaanku digalinya dari timbunan-timbunan masa silamku.

”Kenapa diam. Lia, kenapa diam?” Rul menatap mataku tajam-tajam. Sekilas saja aku mampu melawannya. Tangan Rul sekali lagi membelai rambutku. Mengusap sampai ke tengkuk, di mana panjang rambutku berakhir.

Kenapa diam, katanya. Kenapa diam. Ia menggugurkanku, mencungkil dan memilin-milin keperempuananku, tapi sekaligus ia hadapkan aku pada tindakan yang membutuhkan kejantananku yang lain. Sekali lagi ini sangat memedihkanku. Dan, jika kulakukan saran Rul, maka akan memedihkan semuanya. Semua keluargaku. Jangan ada yang salah sangka aku menjadi ke-laki-lakian itu karena patah hati atau klise-klise percewekan yang umum. Sama sekali tidak. Tetapi, keluargakulah yang membesarkanku menjadi seperti itu. Aku dididik oleh siksaan demi siksaan.

Aku diimpit oleh keenakan hidup, makan minum sekolah lancar, sekaligus oleh neraka yang dibungkus oleh yang kelihatan enak itu. Tetapi, sejak aku mulai sadar akan neraka itu, tak pernah kujumpai satu alternatif pun yang bisa memberiku keputusan untuk memberontak, seperti yang dianjur-anjurkan oleh Rul. Rul bisa saja ngomong sampai sejauh langit perihal perlawanan dan sikap. Tetapi, aku bukan bagian yang lain dari segala kondisi keluargaku, sebagaimana Rul. Ia semestinya mengerti bahwa aku tidak lain adalah bagian dari api neraka itu sendiri. Seburukburuk orangtuaku, tapi siapakah mereka itu jika bukan tetap orangtuaku juga?

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang