Aku terusik saat ada tangan yang mengelus pelan rambutku. Masih sadar di mana aku berada dan sudah jelas tangan siapa yang ada di atas kepalaku, aku memegang tangan itu perlahan. Menegakkan kepalaku dari ranjang Iqbal.
"Maaf, aku yang jadi istirahat."
Iqbal tersenyum, "Aku barusan bangun."
"Mau minum?"
Aku ragu untuk membantu Iqbal saat dia mengangguk yang artinya dia ingin membasahi tenggorokannya. Aku takut jika sifat cerobohku muncul dan membuat tubuhnya menambahkan daftar baru rasa sakitnya.
"Aku panggil bunda kamu sebentar, ya."
Aku keluar kamar, tapi tidak menemukan siapapun bahkan Nia. Sudah malam dan Nia tidak mungkin mau membuang waktunya hanya untuk menungguku. Tapi, kemana Tante Lily?
Aku kembali masuk dan menjumpai Iqbal yang memejamkan matanya. Apa dia sudah kembali tidur?
Kakiku mendekat ke kasurnya. Melihat wajah tenangnya saat ini membuat hatiku lega. Dugaanku sepenuhnya salah. Apa yang ada di pikiranku tidaklah sama pada kenyataannya. Iqbal bahkan Tante Lily masih sama hangatnya seperti dulu. Tidak ada kecanggungan yang mereka perlihatkan. Bahkan Tante Lily memelukku dengan pelukan yang sama. Tidak ada sedikitpun ragu untuk Tante Lily dan Iqbal menyebut nama yang membuatku selalu merona malu.
Witty...nama itu dilontarkan Tante Lily saat pertama kali aku ke rumahnya. Katanya Iqbal yang bercerita jika memiliki teman baru bernama Witty, padahal sudah jelas-jelas aku memperkenalkan diri di depan kelas dengan nama Widy. Bahkan aku memperkenalkan diriku di depan kelas sudah dua kali karena ditunjuknya sebagai bendahara kelas.
Meski bayang-bayang ucapan Nia selalu terlintas. Tapi, aku mencoba menghilangkannya. Lagipula ini hanya sekedar menjenguk seperti kata Nia. Tidak ada salahnya untuk menjenguk teman bukan? Ya, lebih baik aku menganggap hubunganku dan Iqbal selama ini hanya sebagai teman yang mungkin merangkap menjadi sahabat. Meski hatiku menolak keras, memangnya aku bisa apa?
Tanganku terangkat untuk mengelus ujung rambutnya yang sedikit berantakan. Tapi, masih satu gerakan. Sorot mata yang kini terlihat begitu sendu itu menatapku. Tidak, Iqbal melihat tanganku yang masih ada di rambutnya. Aku segera menarik tanganku dengan kikuk.
"Maaf, kamu udah minum?" Iqbal hanya tersenyum kecil. "Aku nggak ketemu bunda kamu di luar."
"Bunda aku suruh beli makan.... Bunda dari kemarin...belum makan." Aku hampir mengeluarkan kembali cairan bening yang sebenarnya tidak mendapatkan ijinku untuk keluar dari tempatnya saat Iqbal mengeluarkan kalimat yang terbata.
"Aku bantu kamu minum, ya. Tapi, kalau aku nyenggol luka kamu atau kamu ngrasa ada yang sakit, kamu langsung bilang."
Aku menaruh tanganku di bawah leher Iqbal. Dengan sangat pelan dan hati-hati aku mencoba untuk membuatnya setengah duduk dan membantunya meminum air putih.
"Ada yang sakit?" Tanyaku setelah kepala Iqbal sudah berada di tempat semula. Dia memejamkan matanya dan menggeleng pelan.
Aku duduk dan kembali memperhatikan wajahnya. Bagaimana Iqbal bisa menahan semua rasa sakit di tubuhnya? Aku sangat yakin seratus persen kalau luka di sekujur tubuhnya tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Tubuh Iqbal hancur dan tanpa perlu terlihat di retinaku, aku tahu hatinya lebih hancur dari ini.
Dengan beraninya aku mengelus pelan punggung tangannya hingga membuatnya kembali membuka mata, tapi detik selanjutnya dia kembali terpejam. Menikmati sentuhan lembut yang aku berikan padanya hingga keberadaan Tante Lily membuatku menghentikan tingkah tidak sopanku.
"Tante..."
"Ini tante belikan makanan kesukaan kamu, semoga nggak berubah ya."
"Widy kok jadi ngerepotin tante gini," Aku mengambil alih kantong plastik itu dan menaruhnya di meja. "Tante sudah makan?" Tanyaku dengan pelan karena Iqbal sepertinya sudah kembali tenggelam di alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost IN Love
General FictionKarena aku sangat menyukaimu, aku tidak bisa berhenti melakukannya. Aku sangat menyukaimu yang aku bahkan tidak bisa berpura-pura tidak menyukaimu lagi. Aku tidak bisa melakukan apapun, tetapi aku tidak akan menunjukkan betapa aku menyukaimu. Aku ti...