3.Cemburu

305 122 105
                                    

DERAS HUJAN BAGAI AMARAH

Dimalam yang kelam
Aku terdiam
Menatap deras hujan yang kian berjatuhan
Menjadi teman bisu dalam kesepian

Rasa hatiku tak tenang
Seperti deras hujan yang menggenang
Memikirkan amarahnya yang begejolak
Seperti deras hujan yang menggoyak

Tak mampu aku menahan
Tetes air mata yang ingin berjatuhan
Karena rasa bersalah
Aku jadi resah...

Ditengah hujan yang semakin deras
Lagi-lagi terbayang sosok paras
Derasnya hujan bagai amarah
Memuncak, ibarat warna merah

Membuatku meringis
Dalam jerit tangis
Ingin aku bertanya...
Mengapa padanya?

Namun, gelap telah sempurna
Aku tak ingin membuatnya merana
Nantikan saja, saat sang fajar mucul dari tempat persembunyiannya
Akan ku sambut dirinya...

Kubuat dia lukis senyuman
Kubuat dia nyaman
Agar dia lupa cemburu buta
Dan kembali memberi cinta

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸

Hari ini adalah hari senin. Hari saat sekolah melaksanakan kegiatannya yaitu upacara bendera. Namun sayang, aku bangun kesiangan, saat fajar sudah nampak didepan mata, aku masih mengenakan piyama lusuh berwarna merah muda yang melekat ditubuh. Aku celingak-celinguk kebingungan. Kemanakah gerangan, orang-orang yang setiap paginya membangunkanku untuk segera bersiap-siap sekolah? Ini sudah pukul 06.30 seharusnya aku sudah tiba di sekolah.

"Huft!"Dengusku penuh kesal.

Aku mulai beranjak, namun langkahku masih sempoyongan karena rasa kantuk yang tak tertahankan. Ah, ini memang salahku tidur terlalu larut malam. Aku tidak bisa mengubah pola tidurku yang berantakan menjadi teratur.
Sampai-sampai, sambil berjalan batinku mengucap unek-unek kekesalanku hari ini.

Di depan pintu toilet, aku mengambil handuk yang menggantung di samping pintu, lalu segera memasuki toilet. Dengan jurus seribu bayangan, aku berada di dalam toilet. Tak peduli seberapa bersih aku mandi, yang penting aku sudah mandi dan tidak datang dalam keadaan bau badan.

Setelah itu aku pun keluar pintu kamar mandi dengan rambut berantakan, namun kuikat secara asal.

Kupakai seragam beserta kelengkapannya. Lalu, aku melirik arloji berwarna putih yang menggantung di paku. Jarum penunjuknya menunjukan pukul 07.00. "Astaga! Aku sudah terlambat tiga puluh menit,"batinku tak tenang.

Langkahku semakin terburu-buru. Mengoles tipis bedak, menyisir rambut, dan memakai lip gloss kulakukan dengan super cepat.

Tak lama kemudian Bi Resti memanggil namaku cukup keras "Non Senja, Sarapan dulu cepat! Kamu kesiangan!" teriaknya membuat hatiku semakin gelisah.

Dengan sigap aku menggandong tas ranselku dan berlari menuruni anak tangga yang kupikir sudah lihai meloncat di atas tangga itu, atau aku harus melewati beberapa anak tangga agar cepat sampai.

"Bi, ini pukul berapa? Sudah kesiangan kali, Bi!"setibanya di hadapan Bi Resti.

Bi Resti menunduk. Sepertinya ia malu atau sedikit gugup. "Haduh, non maaf ya, jam di kamar Bibi mati."

"Ohh, gitu."

Setelah percakapan kecil itu, aku langsung melahap nasi goreng buatan Bi Resti yang ku hitung-hitung hanya empat sendok yang dapat kulahap di pagi hari yang kesiangan ini.

Sebuah Cerita Rindu untuk Senjani[Terbit||GuePedia2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang