"Gua gak tahu Rivz, mau ngomong apa." Rahiel mendesah bingung. Namun Rivzy bisa membaca mata Rahiel, selalu saja begitu. "Gua gatau. Lo segalanya. Lo sahabat, abang, adek, musuh, pacar, lawan, kawan, bapak, om, buat gua. Lo itu semuanya."
------------------------
Dia menatap langit-langit kamarnya untuk yang terakhir kali. Langit-langit itu menjadi saksi bisu tentang masa kecilnya, menjadi teman curhat terbaiknya, sesuatu yang menjaganya selama 18 tahun.
Ada rasa sakit jika Rahiel melihat seluruh isi kamarnya lagi. Sakit karena ia mungkin tidak bisa kembali ke tempat itu. Ia sudah jelas akan merindukan tempat bermainnya. Bukan hanya kamarnya, tetapi rumah ini. Ia juga akan merindukan Mama Novianti, Vanya, Bi Leli, maupun teman-temannya.
"Yell, udah siap?" Novianti muncul di balik pintu kamar Rahiel. Ia mendapati anaknya terbengong di pojok kamar. Entah memikirkan apa
Rahiel menoleh lalu menatapnya sebentar. "Udah." Ia berdiri, mengambil tas miliknya dan segera keluar dari kamarnya.
"Vanya kemana ma?"
Novianti tertegun. Vanya tidak pulang dari kemarin sore dan dirinya tahu persis alasannya. Vanya masih belum bisa menerima semuanya. Tubuhnya menegang sebelum berbicara, takut Rahiel sedih jika ia mengatakan hal yang sesungguhnya. Tetapi, Novianti tetap jujur. "Vanya gak pulang Yell, dari kemarin. Adikmu mungkin belum bisa terima kalau kamu mau pindah."
Rahiel menghela nafas panjang, tanpa sadar. Ada setitik rasa kecewa, tapi mau bagaimana?
Rahiel pura-pura tertawa, "Ah, yaudah Ma kalau Vanya gak pulang. Gak apa-apa." Berlawanan dari hatinya, yang sesungguhnya terluka. Rahiel pikir ia tidak akan bertemu Vanya lagi. Rahiel pikir ...
Rahiel membuang pikiran negatifnya. Ia mulai mengangkat koper miliknya ke dalam mobil. Fina, Anya, Caca, Lisa, dan Tasya bilang mereka akan menyusul ke bandara. Bersyukur, teman-temannya tidak ikut-ikutan marah dan masih akan mengantarnya untuk yang terakhir kali.
"Hand phone kamu bunyi, Yell." Novianti, lagi-lagi menyadarkan Rahiel dari lamunannya. Rahiel mengecek caller id sang penelepon, Rivzy.
"IYELL! LU DIMANA?"
"Lu ngapain teriak-teriak?" Rahiel yang kaget refleks menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu mengembalikannya seperti semula. "Gue on the way bandara. Kenapa?"
"Untung gak telat." Hembusan nafas lega Rivzy masih bisa Rahiel dengar. "Ya tuhan, gua gak tahu gimana jadinya kalo gua telat. Ya udah gua juga lagi otw, bentar lagi sampe." Lalu, Rivzy memutus sambungan telepon.
Aneh.
"Siapa?"
"Rivzy." Rahiel terkekeh pelan.
"Kamu sama dia udah gak ada apa-apa? Bener?" tanya Novianti, mengagetkan Rahiel.
"Mamanya Rivzy cerita ya?" Rahiel mendengus. "Emang dasar itu anak ember banget sih. Curhat mulu ke mama-nya."
"Hus, gak boleh gitu kamu," ucap Novianti kemudian tertawa. "Jadi bener dulu sempet ada apa-apa? Kamu tertutup banget sih."
"Iya, cuma ya gitu. Udah deh Ma, jangan bahas itu! Pusing nih Iyell." Rahiel memelas. Novianti hanya tertawa lalu melanjutkan aktivitas menyetirnya.
---
Mereka sudah berkumpul. Ada Rivzy, Caca, Anya, Tasya, Lisa, Fina. Tetapi belum semua. Rahiel tahu masih ada yang kurang. Hatinya meminta lebih. Hatinya tidak bisa dibohongi, Rahiel mau mereka juga ada di sini. Mereka. Mereka.
Rahiel masih terus menunggu. Tetapi waktu terus berjalan. She had to go.
Rahiel mendengar suara. Asalnya dari speaker, tentang pesawat tujuannya. Pertanda, waktunya habis. Ia harus pergi. Dan mungkin, tidak akan kembali.
Rahiel tersenyum lalu bangkit. Semua menatapnya sedih, terutama Rivzy. Cowok itu yang paling tahu sifat Rahiel, yang paling mengenal Rahiel. Cowok itu hafal apa yang dilakukan Rahiel, cowok itu mengerti Rahiel. Mereka satu, namun tetap kehidupan yang berbeda.
"Maafin gua ya kalo ada salah sama lo," ucap Lisa, lalu ia memeluk Rahiel erat. Sangat erat layaknya orang yang sakit karena akan ditinggalkan. "Kita sayang sama lo."
Setelah itu tidak ada yang berkata-kata. Semuanya memeluk Rahiel kecuali Rivzy dan Novianti. Sisanya hanya menyaksikan tontonan yang menumbuhkan rasa sedih, lalu bermetamorfosis menjadi rasa rindu.
Selesai acara peluk-pelukan, Rahiel menatap Rivzy, dan sebaliknya. Tidak menunggu apapun lagi, Rahiel memeluk cowok itu. Cowok yang menemani hampir, bahkan lebih dari setengah umur hidupnya, cowok yang selalu memberikan rasa yang Rahiel inginkan, cowok yang menjadi 'apapun' untuk Rahiel.
Dulu itu bukan tanpa rasa, tetapi hanya berbeda. Sekarang sudah sama, namun Rivzy dan Rahiel masih terus seperti ini, sahabat.
Rahiel menarik tangan Rivzy, menjauh dari teman-teman dan Mama-nya. Rivzy hanya mengikuti Rahiel. Tidak menolak.
"Gua gak tahu Rivz, mau ngomong apa." Rahiel mendesah bingung. Namun Rivzy bisa membaca mata Rahiel, selalu saja begitu. "Gua gatau. Lo segalanya. Lo sahabat, abang, adek, musuh, pacar, lawan, kawan, bapak, om, buat gua. Lo itu semuanya."
Rivzy hanya tertawa.
"Lu malah ketawa." Rahiel mendengus kesal. "Gua sayang sama lu, sayang banget melebihi pacar. Tetapi rasanya beda." Rahiel menatap Rivzy lalu menggenggam tangan cowok itu. "Gua mungkin gak pulang."
"Gue susul lo ke sana." Rivzy menyipitkan matanya. "Gue juga sama seperti lo. Gua terlalu sayang sama lo, lo itu adik, kakak, emak, tante, pacar, musuh, lawan, semuanya buat gua," ucap Rivzy kelewat serius. "Jaga diri lo di sana, Yell. Jangan lupain gua. Gua masih mau dianggap penting bagi lo."
"Selalu." Rahiel tersenyum. "Makasih ya, makasih buat semuanya. Maaf gua terlalu cepet ninggalin lo, ninggalin semuanya. Gua kira kita masih bisa buat kenangan bareng saat udah kuliah." Rahiel menyeka air matanya.
"Jangan nangis. Jelek." Rivzy menautkan kedua alisnya tidak suka, lalu menyeka air mata Rahiel. "Gua gak akan nangis. Gua bakal buktiin ke lo kalo gua gak se-cengeng itu."
"Dasar!" Rahiel memukul lengan Rivzy. Tiba-tiba, cewek itu teringat sesuatu. "Oh iya!" Rahiel mengeluarkan kotak dari dalam tasnya. "Ini."
"I know." Rivzy mengangguk paham. "Buat Aidan 'kan?"
Rahiel mengangguk. "Dan gua minta tolong." Rahiel menghela nafasnya. "Sampein semua perasaan gua ke dia, ya?"
Rivzy tidak bisa menolak. Ia menyanggupi permintaan Rahiel.
"Gua gak tahu." Rahiel menatap Rivzy dengan tatapan terharu. "Makasih Rivz. Thanks and sorry for everything."
One more hug, then gone.
---
maaf late update. happy 3.3k // doain sy unbk yah hehehe. lopuy gaes
-namira
KAMU SEDANG MEMBACA
[RGS 1] To, Aidan.
Teen Fiction[JUDUL SEBELUMNYA ; NERD] Ini kisah tentang Rahiel. Rahiel dilanda dilema. Antara menerima kenyataan, atau mempertahankan harapan? Belum sempat dia memilih, muncul Aidan. Rahiel makin bingung. Ini juga kisah tentang Aidan. Aidan menyimpan semua mem...