File 8 : Mayat seorang Wanita di Tepi Sungai

7.4K 620 30
                                    

Rain terbangun. Waktu santainya terganggu suara deru kendaraan. Dari kejauhan, terlihat kepulan asap. Seorang pria berseragam lengkap, turun dari mobil patroli dengan kaki panjangnya. Sambil membenarkan kerah bajunya yang terlipat, dia berjalan mendekat.

"Maaf, bisa carikan letnan Rain?"

Pria usia kepala tiga itu melambai-lambaikan tangan, tak tahu orang itu ada di hadapannya.

Terlihat kumis tipisnya bergerak konstan. Jakunnya yang menonjol naik turun. Sesekali, pria jangkung bertubuh kurus itu memandang jam tangan berwarna hitam, yang melingkar agak kebesaran di lengannya. Entah mengapa, ia kelihatan begitu gelisah.

Setengah malas, Rain bangkit dari kursi. Kantuk masih belum reda. Mulutnya pun, sesekali menganga. Sambil mengorek telinga, ia berjalan mendekat begitu gontainya.

"Siapa yang mendidikmu?!"

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja pria itu membentak.

"Hah?"

Rain melongo. Hendak memperkenalkan diri, tahu-tahu dimaki-maki. Ditambah lagi, kantuk juga belum sepenuhnya pergi. Suntuk yang dirasa pun, semakin menjadi-jadi.

Ia paksa sepasang matanya bekerja meskipun terasa berat. Kelopak matanya turun naik, bola matanya mulai mengedar. Tak perduli wajahnya kelihatan seperti seekor ikan yang sedang menggelepar, ia terus memperhatikan.

Garis di bahunya, beberapa lencana penghargaan, hingga logo burung merpati di seragam yang dia kenakan. Seketika, ia teringat gambar pohon beringin yang ada di depan markas. Gambar itu juga serupa, dengan yang terpasang di seragam para anggota.

Oh, pantas, rupanya bukan anggota Distrik 17, pikirnya.

Rambutnya klimis, memakai sabuk kulit necis. Parfumnya pun, wangi seperti buatan dari Paris. Pokoknya rapi seperti selebritis. Saking rapinya, pakaian yang dia kenakan pun, tegak seperti penggaris.

Ujung bahunya berdiri, seperti ditarik benang. Celananya pun, demikian. Kaku seperti papan kayu. Terlihat jelas kalau pemiliknya sangat rajin menyetrika, sampai-sampai tercipta garis di tiap ujun pakaiannya. Anehnya, sepatu dinasnya kelihatan berlumpur, kontras jika dibandingkan dengan penampilannya yang sudah seperti mau kondangan.

"Oh..."

Tiba-tiba, mata setengah terpejam bak ikan sekarat itu pun, terbuka, mendapati bentuk garis di bahunya.

Sekarang dia tahu, siapa gerangan sosok ini.

"Kenapa?" tegur pria tadi.

"Itu, biasalah, kalau habis tidur, telinga suka gatal, komandan!" jawab Rain, enteng.

Ia malah terang-terangan menggaruk-garuk telinga lagi. Alhasil, semakin geram-lah Si Pria Jangkung. Ibarat sudah tahu ada api menyala, disiram minyak tanah sekalian.

"Apa semua petugas distrik 17 seperti ini?!" omelnya.

"Sepertinya, hanya saya yang seperti ini, komandan!" jawabnya, sepele.

Nada suaranya, bahkan kedengaran begitu tidak enak. Pria yang semakin geram itu pun, hendak menampar. Namun, dia akhirnya menyadari garis yang ada di bahu pemuda itu.

Semula, garis itu tidak kelihatan, karena posisi Rain. Terlebih, seragamnya juga sudah begitu usang.

"K-Kamu seorang Letnan?"

Ia menarik seragam Rain, beberapa kali membandingkan garis yang begitu identik dengan miliknya itu.

"Jangan bilang..."

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang