Tap —Tap—Tap
Suara langkah kecil mendekati meja pelanggan di ujung kedai dengan satu cup kopi hangat ditangannya. “Nun—a” panggilnya terpotong, dia menggeleng pelan menatap gadis didepannya yang tertidur dengan meletakankan kepalanya dimeja berantakan penuh dengan kertas dan laptop yang masih dalam mode menyala. Baru saja pemuda kecil itu pergi 5 menit dan gadis itu tertidur.
“Astaga!” serunya, “Kyungsoo nuna? Bagaimana pulangnya ini?” gumamnya menghela nafasnya pelan.
“Kun!” panggil seorang gadis kecil berlari kearah pemuda kecil tadi yang bernama kun, pemuda kecil berumur 12tahun. Kun menoleh kearah gadis yang memanggilnya tadi, “Hyanggi?.”
Gadis kecil yang selalu menjadi temannya bermain saat menemani nunanya untuk menghabiskan waktu dikedai kopi ini, kedai kopi yang selalu jadi tempat nunanya untuk menghabiskan sebagian harinya untuk menuliskan. Jika ditanya kenapa harus kedai ini, nunanya itu akan selalu menjawab ‘Aku hanya suka kopi disini’ bukankah jawaban yang tak perlu ia dengar. Jika kopi, bukankah kopi dimanapun itu sama rasanya —pahit—aneh bagi kun. Tapi kun melupakan satu hal, dirinya menyukai kopi dari nunanya dan kopi yang menyapa indra perasanya pertama kali adalah kopi dengan creamer satu banding dua, dan kopi itu berasal dari kedai kopi ini. Kedai kopi universe, kedai kopi yang memiliki gaya rasa tersendiri bagi penikmatnya. Kun pernah meminum kopi yang dibuatkan nunanya dirumah, tapi rasanya berbeda. Padahal dari takaran dan bahan, sama. Sedikit tidak masuk akal tapi ini terjadi.
“Tidak jadi pulang?” Tanya hyanggi. Kun mengangkat bahunya acuh, bagaimana dia bisa pulang jika nunanya yang dihadapannya ini tertidur pulas. Jika sudah tidur nunanya itu sulit dibangunkan, kalau ada maling pun atau tawuran mungkin nunanya juga tidak akan bangun. “Aku hubungi ayah saja” kun mengeluarkan ponselnya dari saku mantel dinginya. Hyanggi masih setia menunggui kun, dia tahu jika nunanya kun tertidur.
“Ayah tidak diangkat. Mungkin sedang ada operasi” gumam kun. “ Hah!” kun menghela nafasnya lagi dan menatap hyanggi. “Bagaimana hyanggi?” Tanya kun.
“Hyanggi!” panggil seseorang yang baru saja keluar dari dapur kedai. Hyanggi menoleh langsung dan menatapnya, “Oppa!” seru hyanggi memberi isyarat kepada kakak laki-lakinya untuk mendekat padanya. “ Jongin oppa, bisa bantu kun tidak?” Tanya hyanggi saat oppanya—jongin sudah didekatnya.
“Apa?” Tanya jongin pada hyanggi dengan membungkukan badannya menyamakan dirinya pada hyanggi. Hyanggi menunjuk kearah kyungsoo, “Antar kun dan nunanya pulang. Kasihan.”
“Ehm—“ jongin mengedarkan pandangan ke ruangan kedai miliknya, sejenak. Kedai kecil yang tak terlalu besar namun selalu ramai penikmat kopi setiap harinya, dan akan sangat ramai di akhir pekan, terlihat dua pegawainya sedang bersiap menutup kedai, mereka merapikan bangku yang ditaruh terbalik diatas meja. “Baiklah.”
“Kami antar ya kun?” tawar hyanggi.
“Ya. Terima kasih” jawab kun pasrah. Sebenarnya dia tidak ingin diantar tapi apa boleh buat, nunanya tertidur dan kedai sudah waktunya tutup. “Merepotkan saja” gerutu kun. Kun merapikan kertas dan beberapa barang bawaan kyungsoo dibantu hyanggi. Jongin dengan lembut membopong kyungsoo menuju mobilnya yang berada diparkiran depan kedai. Jongin menempatkan kyungsoo dijog depan, sebelah jog kemudi. Setelah semua naik, jongin melajukan mobilnya perlahan menyusuri ramainya kota diakhir pekan diwaktu yang sudah terbilang larut. Sesekali jongin memandang kearah kyungsoo, sebuah wajah yang damai namun penuh dengan beban. Entah apa beban yang kyungsoo simpan, jongin tidak tahu itu. Bukankah sebagai residence dokter spesialis bedah umum dia juga harus bisa menilai sebuah perasaan yang dialami pasiennya?.Yah, jongin—kim jongin, seorang residence dokter spesialis bedah. Dia kembali dari jepang setelah menyelesaikan pendidikan dokternya dan mengambil spesialis dikorea. Dia sudah satu tahun dikorea dan membukai kedainya, dan sejak pertama kali kedainya buka hingga sekarang. Gadis yang sedang terlelap disampingnya inilah yang menjadi pelanggan setianya, walaupun tidak setiap hari tapi setidaknya seminggu tiga kali gadis ini selalu dating dikedai jongin. Kopi dengan satu balok gula dan satu sendok the creamer yang menjadi pesanan gadis ini.
“Kun, kau bilang akan memberikanku buku karya K.12 yang berjudul ‘I love you mom’” Tanya hyanggi, dia duduk dijog belakang bersama kun. Ah, kun lupa tentang janjinya itu “Mungkin jika aku berkunjung lagi aku bawakan, lengkap dengan tanda tangan penulisnya.”
“Benarkah?” antusias hyanggi. Kun mengangguk. “Bisakah penulis itu menuliskan namaku —kim hyanggi?.”
“Jika kau mau, akan kumintakan.”
“Wuah! Terima kasih kun.”
“Tidak gratis!.”
“Ish! Kau ini perhitungan sekali dengan temanmu.”
“Aku mendapatkannya dengan susah payah kau tahu!” bohong kun, padahal dia dengan mudah bisa meminta pada nunaya itu—K.12—nama yang merupakan inisial nunanya dipojok karyanya.
“Baiklah. Satu cup kopi seperti biasa.”
“Setuju!.”
Jongin hanya mendengarkan percakapan dua malaikat kecil itu, bagaimana mungkin pemuda kecil seperti kun begitu menyukai kopi seperti nunanya ini. Jongin tahu bagaimana kun mulai mengenal kopi, karna jongin selalu memperhatikan interaksi kun dengan nunanya. Entahlah, seperti ada daya Tarik untuk jongin memperhatikan kakak beradik itu. Atau karan jongin menyukai gadis yang sedang tertidur disampingnya ini?.Jongin tidak tahu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pecinta Kopi
Short StoryGadis pecinta kopi Kopi... Memiliki rasa manis tersendiri dari gulanya, rasa gurih dari cream susunya, rasa pahit dari kopi itu sendiri. Kopi begitu menenangkan bagiku, menemani disetiap kesendirianku. Tapi kopi bisa sangat beracun jika terdapat si...