-John P.O.V
"Sebenarnya..."
"Kau tahu kan, bahwa aku tinggal bersama bibi ku. Bukan dengan kedua orang tua ku?" Tanyaku membuka topik. Entah mengapa, aku teringat ucapan ibu. John, Jika kau punya masalah, ceritakan lah pada orang yang kau percayai. Mungkin, beban mu akan ringan. Ucap Ibu waktu itu.
Dan aku tahu siapa orang itu. Ya, dia adalah Paul."Ya, lantas mengapa kau tidak tinggal bersama mereka? Ada apa dengan keluarga mu?" Tanya Paul balik.
Aku terdiam. Belum menjawab pertanyaan Paul. Hening menyapa kami berdua, hanya suara angin dan pepohonan lah yang terngiang di telinga kami.
"John?" Panggil Paul. Aku mengingat kembali kejadian itu.
"Aku lahir di saat situasi sangat terpuruk. Saat itu ibuku melahirkan ku tanpa suami. Karena ayahku sedang berada di medan tempur. Ibu melahirkan ku dibantu oleh bidan. itu adalah situasi sangat darurat, karena waktu itu di kota kami sedang ada peperangan. Aku tidak tahu siapa ayah ku waktu itu. Aku terus bertanya pada ibu, dimana ayah ku, siapa ayahku, kemana dia, seperti apa wajahnya, dan siapa namanya, tetapi ibuku tidak pernah menjawabnya. ibu hanya diam, lalu malamnya, ibu selalu menangisi cincin emas yang melingkar di jari manis nya. Aku masih ingat sekali, saat itu ibu sangat bahagia saat mendapat surat dari bi Mimi. Katanya, itu adalah surat kabar dari ayah. Waktu itu aku baru menginjak usia 5 tahun. Waktu terus berlalu. Masih sama. Ayah belum juga pulang. Ibuku bekerja di sebuah kafe. Aku tak tahu, saat itu ibu pulang membawa pria asing. Tapi lama-lama aku mengenalinya. Dia sangat baik. Tapi karena ia terlalu perhatian pada ku dan ibu, ibu ku akhirnya jatuh cinta pada nya. Saat itu pun ibuku masih terikat pernikahan dengan ayah ku. Saat ibu memutuskan untuk tinggal bersama orang asing itu, aku pun dibawa oleh bibi Mimi. Aku tumbuh disana." Aku meneguk ludah kasar.
Paul masih terdiam.
"Dan akhirnya aku tinggal bersama bibi. Sampai akhirnya seseorang pria datang kerumah. Waktu itu bibi sangat bahagia. Ternyata katanya, itu adalah ayahku. Aku benar-benar sangat suka dengan ayah. Ia sangat perhatian padaku, tidak seperti ibu yang selalu mengacuhkan ku. Waktu itu aku diajak ketaman oleh ayah, dan saat itu ibu datang dengan wajah marah. Aku sangat takut padanya. Ibu membentak ku untuk pergi menghampirinya, tapi aku menolaknya. Saat ibu bertanya ingin memilih ayah atau dia, aku menjawab ayah. Tapi, ibu belum bisa menerimanya. Ibu meminta bi Mimi untuk menjagaku. Saat itu aku digendong bi Mimi pulang. Dan aku melihat kedua orangtuaku yang memisah. Sampai akhirnya ibu pulang dengan pria asing itu, dan ayah pergi sendiri entah kemana. Aku menangis sangat kencang. Aku benar-benar benci pada dunia. Dunia ini sangat keras. Maka dari itu, aku selalu menyendiri. Aku tak tahu sampai sekarang dimana mereka. Ayah sudah tidak memberi kabar. Dan mungkin ibu sudah mempunyai keluarga baru. Dan aku..." Apa ini? Sial! Aku mengeluarkan air mata.
"Menangis lah John, kau pantas menangis. Ini sangat wajar" ucap Paul.
Aku hanya menahannya dengan isakan. Lalu melanjutkan dengan suara bergetar "lalu, aku ditelantarkan begitu saja. Aku sangat beruntung karena bi Mimi sangat sayang padaku." Lalu air mata pun meluncur dengan cepat ke permukaan pipi ku.
Mata Paul mulai berkaca-kaca. "Aku tahu betul bagaimana perasaan mu. Aku juga bernasib sama seperti mu. Tapi perbedaannya, aku tersiksa." Paul berbicara dengan tatapan kosong.
Hari mulai petang, sampai akhirnya suara pesan masuk datang di telpon ku. Dari George. "Paul, George mengirim pesan padaku. Katanya, ia tidak bisa datang kemari karena ada tugas yang mendesak" ucapku.
"Tak apa. Kita bermain musik saja disini." Ucap Paul masih dengan tatapan yang berkaca-kaca.
"Paul?" Panggil ku.
Matahari pun tenggelam. Lampu berbentuk oval ditaman menyala. Di taman ini tinggalah aku dan Paul. Lagi lagi keheningan datang. Paul belum juga membuka topik. Sampai akhirnya aku yang memulai.
"Kau tahu Paul, sampai akhirnya aku tahu kesendirian tak akan selamanya. Begitupun dengan mu, kesiksaan mu akan lenyap. Aku yakin sekali" ucapku, lalu berbaring di rumput hijau itu. Mata ku beralih pada bintang malam. Dimana ibu? Dimana ayah? Dimana kalian semua? Aku sangat merindukan kalian. Apa kalian sedang menatap langit yang sama seperti yang aku lakukan? Apa yang sedang kalian lakukan? Apa kalian merindukan ku juga? Atau, Apa kalian tidak menyayangi ku lagi?
"Kapan John. Kapan masalah itu akan berakhir"
"Tak akan jika kau tak mau berusaha. Aku yakin kita bisa berbahagia Paul. Dengan cinta" jawabku.
"Cinta?"
"Ya"
"Kita bisa saja bahagia dengan mencintai semuanya. Aku masih mencoba untuk mencintai semua."
"Aku belum bisa mengerti"
"Aku mencintai semuanya, dan kau mencintai semuanya. Belajarlah untuk memulainya." Jawabku.
Paul ikut berbaring di atas rumput itu. Lalu memandang langit hitam.
"Malam yang indah. Disini bersamamu seperti mimpi, John. Aku merasa seperti bebas dari urusan kerajaan ayahku. Aku bebas" Ucap Paul sembari memejamkan mata nya.
"Yang kita ingin kan hanyalah bebas dari masalah dan bahagia untuk selamanya." Ucapku ikut memejamkan mata.
"Aku tahu itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beatles
FanfictionSelalu berfikir. itu yang aku lakukan. Berfikir untuk mencari hal yang baru. Biarkan aku berimajinasi disini. Bersama mimpi mimpi ku. Dan, mimpi mimpi itu tak akan ku biarkan lenyap begitu saja.-JohnLennon