-John P.O.V
Hari ini aku tidak berangkat ke kampus. Melainkan ke rumah Paul. Sebenarnya, bi Mimi akan marah sekali jika aku tidak ke kampus. Tapi, aku melakukan yang terbaik untuk masa depan ku.
"Rumah ku tak jauh dari sini kok, John." Ucap Paul. Kami sedang berjalan menyusuri perumahan besar.
Aku pun terengah-engah "apa kau tidak lelah, Paul? Aku saja sangat capek." Tanya ku. Kini, pori-pori kulit ku basah dengan keringat.
"Aku sudah biasa. Maaf ya John, tadinya aku ingin meminta supir untuk menjemput, tapi ku fikir berjalan bersama mu itu lebih menyenangkan di banding duduk bersamamu di mobil." Jawab Paul.
"Kau aneh. Ya sudah tak apa. Di mana rumah mu?" Tanya ku untuk yang sekian kalinya.
"Itu yang bercat putih" jawab Paul menunjuk rumah mewah di sebrang jalan. Rumahnya seperti istana. Sangat besar. dari jauh saja sudah terlihat mewah, apalagi di dalamnya?
"Hah? Kita harus menyebrang lagi..?!" Keluh ku.
"Hitung hitung olahraga, ya John. Hahahaha"
****
Rumah mewah bercat putih dengan lantai marmer itu penambah kemewahannya. Penjaga rumah itu pun membukakan pintu rumah untuk Paul dan aku.
"Tuan McCartney. Kenapa anda sangat lama? Ayah anda sudah lama menunggu" ucap pria penjaga pintu ini. Aku sempat berfikir, berapa habis dollar yang di keluarkan oleh ayah Paul untuk membangun rumah besar ini dan pegawai pegawai nya?
"Ck, aku jalan" jawab Paul murung
"Kenapa tidak minta jemput saja tuan? Kan itu membuat anda lelah" Tanya si penjaga itu. Paul memasang wajah kesal.
"Bisakah sekali saja kau tak perlu banyak bicara?! Aku lelah bukan karena jalan! Aku lelah dengan ocehan mu yang tidak berguna itu!"
Ucap Paul bernada tinggi."Sudahlah Paul, dia kan hanya menyarankan" aku mengelus pundak Paul untuk menenangkannya. Aku tak percaya, ternyata Paul juga anak pemarah. Tapi, setiap bertemu ku ia selalu memasang wajah senang, tidak seperti ini.
Seperti nya Paul masih bisa aku ajak bicara saat ini. Ia mengangguk. "Maafkan aku Paman Bret." Ucap Paul lalu masuk ke rumah besar itu. Aku pun mengikutinya.
Sontak saja, setelah Paul bicara seperti itu, penjaga rumah itu pun hanya melongo tak percaya. Apa tadi perkataan Paul ada yang salah?
Karpet merah dan lampu besar itu berkesan seperti istana. Ruangan ini amat kosong. Hanya ada beberapa lukisan dan foto-foto besar di dinding putih itu. "Dimana ayah mu, Paul? Bukankah ia mencari mu?" Tanya ku berbisik pada Paul.
"Entahlah. Mungkin ia sedang keluar." Jawab Paul lalu menaiki tangga rumah. Tangga itu sangat tinggi, aku tak yakin untuk mencapai nya.
"Paul, apa tidak sebaiknya kita di bawah saja? Aku sangat capek" ucap ku. Paul berhenti melangkahi tangga itu, lalu berbalik menghampiriku.
"Maaf John, aku lupa memberi mu minum. Duduklah di sofa, akan ku sediakan minuman dingin untuk mu" ucap Paul. Lalu ia menepuk tangannya dua kali. 'prok prok'
Lalu, seorang pegawai cantik datang kearah Paul. "Ya tuan McCartney, apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya pegawai cantik itu. Aku sedikit menggoda perempuan itu sebelum ia pergi mengambil air untukku."Air yang dingin ya, cantik" goda ku. Lalu pegawai itu berlalu sembari menunduk.
"Kau itu centil, ya John" ucap Paul.
"Haha. Iya. Apalagi David, dia lebih centil dari ku" jawabku
"Hah? Tapi jika David kemari ia tidak pernah menggoda pegawai-pegawai rumah ini. Tidak seperti yang kau lakukan."
"Abaikan saja lah Paul. Jadi, kau ada ruangan band?" Tanya ku mengalihkan topik
"Ada, tapi di atas. Apa kau kuat?" Ledek Paul.
"Enak saja. Kau bertanya seperti itu meremehkan otot-otot besar ku ini tahu" ucapku tertawa jahil sambil menunjukkan otot lengan ku.
"Ah, kau kurang berolahraga tuh. Harusnya kau bisa lebih besar dari itu. Hahahaha..." Ledek Paul balik. Aku hanya membalas tertawa padanya. Entah mengapa, baru beberapa hari ku kenal Paul, kami langsung akrab seperti ini.
Seorang pegawai lain mengantarkan senapan 2 air dingin untuk kami berdua. "Lho, kok pegawainya beda? Lebih cantik yang ini Paul?" Goda ku.
Pegawai itu hanya tersipu malu. Pipi nya merah merona. "Yang tadi sudah tidak kuat di rayu mu, katanya. Dia bilang dia jatuh cinta padamu" ucap Pegawai itu.
"Oh ya? Tapi aku jatuh cinta nya pada mu." Jawab ku berusaha menggoda pegawai ini.
"Sudah sali, kau kembalilah." Usir Paul. Lalu sebelum pegawai itu pergi dari kami, ia sempat melambai tangan padaku.
"John, John. Kerjaan mu ini menggoda terus" Ucap Paul lalu meneguk air soda itu.
"Hahaha... Jika bukan merayu bukan John namanya" jawab ku tersenyum jail. Lalu menyeruput soda itu.
"George dan kenalannya katanya mau kemari juga Paul" ucap ku.
"Oh ya? Kapan ia kemari?"
"Katanya setelah ia pulang dari kampus musiknya." Jawab ku yang lalu dijawab dengan anggukan oleh Paul.
Dan setelah kami selesai minum soda. Aku dan Paul pun menaiki tangga menuju ruangan band. Ruangan ini penuh dengan berbagai macam alat musik. Mulai dari gitar, piano, bas, melodi, terompet, drum, dan lainnya. Aku mengambil gitar listrik disamping drum. "Wah Paul! Kau tahu harga gitar ini berapa?" Tanya ku antusias.
"Entahlah. Aku tidak peduli itu" jawab Paul masabodo.
"Kau tahu! Ini ribuan dollar harganya!!!!" Jawabku antusias.
"Wow. Itu ayahku yang membelikannya. Tadinya untuk band nya, tapi karena bandnya musnah, jadi barang-barang ini jadi milik ku. Jika kau mau gitar itu ambilah, sungguh, aku tidak keberatan." Tawar Paul.
Padahal sih aku menginginkan nya, tapi untuk apa? "Tidak perlu Paul, aku masih punya gitar tua ini. Gitar ini lebih berharga dibanding ribuan dollar." Jawabku.
"Memangnya mengapa kau sangat menyayangi gitar itu? Apa kelebihannya?"
"Tidak ada. Tetapi, pemberinya lah yang membuat barang ini berharga." Jawab ku.
"Memangnya itu gitar pemberian dari siapa?" Tanya Paul.
"Ibuku." Jawab ku datar.
Paul hanya terdiam. "Jadi Paul, mari kita coba alat-alat ini" Ucapku akhirnya.
"Baiklah"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beatles
FanfictionSelalu berfikir. itu yang aku lakukan. Berfikir untuk mencari hal yang baru. Biarkan aku berimajinasi disini. Bersama mimpi mimpi ku. Dan, mimpi mimpi itu tak akan ku biarkan lenyap begitu saja.-JohnLennon