BAB I - Berjumpa Pangeran

689 80 44
                                    

disclaimer: seventeen © pledis entertainment. the following is a work of fiction, no copyright infringement intended.

🍭on-going
🍭jihan (joshua x jeonghan)
🍭genderswitch
🍭bahasa | pg-12
🍭slice-of life, school-life, drama, romance


🍬🍬🍬

BAB I –
Berjumpa Pangeran

DALAM tatanan masyarakat hierarkis Korea saat ini, Yoon Jeonghan seharusnya merasa beruntung karena lahir dengan predikat sendok emas.

Saat kecil, tubuhnya lemah sehingga dia mendapatkan banyak pengawalan di sana-sini. Di hari lahirnya, dokter berkata jika hidup anak itu tidak akan panjang. Katup jantung Jeonghan bocor, sehingga dadanya sering ngilu dan membuatnya kepayahan. Masuk-keluar rumah sakit adalah hal biasa untuk dilakukan. Beberapa perawat sampai hafal wajahnya, dan mereka merasa iba; Jeonghan selalu mengeluarkan sembilan jika salah satu dari mereka bertanya berapa level sakit yang dia rasakan ketika mereka menusuk punggung tangannya dengan selang infus.

Jeonghan usia delapan memiliki banyak tamu di hari ulangtahunnya. Sayang sekali, memiliki banyak tamu tidak membuat Jeonghan sembuh dari sakit. Di usia sebelas, Jeonghan akhirnya berhasil mendapatkan donor. Lampu operasi dinyalakan, dan hasilnya sukses. Cangkokannya cocok. Tapi, tidak berselang lama sejak dia keluar dari rumah sakit, ibunya meninggal. Alasannya adalah penyakit yang sama dengan milik Jeonghan.

Ketika usianya genap empatbelas, Jeonghan belajar bahwa sifat dasar manusia adalah saling menyakiti. Ayahnya menjadi berbeda semenjak anggota keluarga mereka tinggal dua. Ia tahu tidak semestinya begitu, karena kematian istrinya bukanlah salah Jeonghan sama sekali. Ia sudah bersiap untuk kehilangan, namun kehilangan tidak pernah mudah untuk dihadapi. Tuan Yoon memang tidak menjadi pemabuk dan membuat rumah mereka disita, tapi dia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan hingga menjadi lupa bahwa dia masih punya seorang anak. Apabila ada undangan dari sekolah untuk wali murid, dia menyuruh bawahannya datang mewakili. Keberadaannya di sana hanya untuk menggenapi kebutuhan material Jeonghan.

Untuk seterusnya sejak hari itu, Jeonghan sulit percaya. Jika ada yang mendekatinya, dia langsung menolak dan menganggap semua orang penjilat. Hatinya ditutup rapat seperti batu.

Saat naik ke kelas tiga, Jeonghan berubah total. Ia jadi sering bolos. Semua guru dilawan, dan dia bicara dengan nada yang kasar. Karena orangtuanya memiliki pengaruh, dia memanfaatkannya untuk bersikap semena-mena terhadap siswa lain. Jeonghan tahu dia tidak akan pernah dikeluarkan. Lagipula jika itu terjadi, ada nama Yoon di belakangnya untuk digunakan sebagai kartu AS.

🍡🍡🍡

ITU adalah Senin pertama setelah liburan semester yang cukup panjang. Jeonghan datang ke sekolah seperti biasa, turun dari Ford merah sepuluh menit setelah bel berdentang. Tentu saja dengan cara dibukakan. Sopirnya bertanya apakah ada hal lain yang diperlukan, tapi Jeonghan menyandang tas di belakang dan menyuruhnya pergi.

Guru olahraga mereka, Kim Jongin, sedang mengumpulkan semua siswa yang baru tiba bersamaan dengan ditutupnya gerbang. Jeonghan melenggang di depannya seperti tidak punya kesalahan.

Ssaem, dia bahkan datang lebih telat dari kami, kenapa kau membiarkannya pergi?” protes salah satu siswa ketika melihat Jeonghan tidak dipanggil untuk ikut dihukum.
Jongin memukulkan tongkat kayu ke lapangan. “Jangan banyak bicara. Cepat lari keliling lapangan duapuluh kali.”

“Tapi ini tidak adil.”

“Anda harusnya memukul rata hukuman untuk setiap siswa.”

“Saya setuju dengan Ilwoo. Aku tidak akan lari kecuali dia ditarik ke sini untuk berlari juga.”

“Adil. Tidak adil. Jika kalian memang punya waktu untuk mengeluh, lebih baik kalian semua belajar yang benar untuk mengubah sistem yang sudah berlaku di masyarakat kita!” Jongin membentak.

“Jongin Ssaem benar. Masyarakat kita sudah membuat aturan jelas untuk masalah ini.” Jeonghan berhenti, memutar kepala untuk melirik mereka lewat mata. “Dasar orang-orang miskin, haha.”

🍡🍡🍡

SUDAH sangat biasa bagi Jeonghan untuk menghadapi hari seperti biasa. Telinganya sudah tuli dari beragam omongan buruk. Kelewatan jam pertama tidak membuat Jeonghan menyesal, melainkan pergi ke kantin dan menyuruh salah satu bibi membawakan susu.

Jeonghan mendengar gosip tentangnya yang datang terlambat dan diberikan pengecualian hukuman. Banyak tatapan tidak suka yang membolongi punggungnya ketika dia melintas di koridor. Bukan masalah besar; dia hanya harus mengabaikannya sampai tiba di dalam kelas. Jika memang sudah tidak tahan, Jeonghan bisa membungkam mereka dengan kartu nama sang ayah.

Dua siswa perempuan memandangnya dengan sinis saat Jeonghan keluar dari toilet.

“Jangan cari masalah dengannya, dia ratu di sini.” bisik seorang anak perempuan, Haeun.

“Haeun, apa kau bercanda?” Temannya mengernyit, mengamati Jeonghan, “bahkan dadanya rata dan dia tidak secantik itu. Paling-paling matanya juga hasil oplas.”

Lidah Jeonghan bermain di mulutnya, “Aah, susah sekali ya untuk tidak menarik perhatian.”

“Oh, rupanya kau mendengar. Kukira benar kata anak-anak yang bilang kau sudah tuli.”

“Coba katakan yang tadi sekali lagi.”

“Kubilang, kau tidak cantik! Matamu itu bagus karena operasi plastik, kan.”

“Minta maaf sekarang dan kalian akan kulepaskan, atau tidak sama sekali.” Jeonghan menendang kaleng sampah. Perasaannya menjadi buruk karena dia tidak suka seseorang berkomentar tentang bentuk fisiknya karena itu sama saja mereka menghina ibunya.

Haeun menarik kuat-kuat lengan temannya, “Sudahlah, Taehee. Jangan memancing masalah di sini.” Lalu Taehee yang sedikit mengerut takut karena dilabrak Jeonghan, pergi dengan langkah besar-besar dengan Haeun.

Jeonghan mendecak kesal. “Dasar sinting.”

Bel pergantian jam berbunyi. Ia masuk ke kelas dengan membanting pintu. Jam istirahat sudah usai dan sekarang masuk jam ketiga, Histori Korea. Guru yang masuk adalah perempuan, menggendong peta dunia yang menguning di ujung-ujungnya dan ketukan sepatu ketika dia berdiri di mimbar.

Jeonghan tidak berniat untuk mengikuti pelajaran setelah kekacauan barusan. Tidak bisakah sekali saja orang-orang berhenti membuat masalah dengannya? Oleh sebab itu, dia menumpu lengannya malas, pandangan matanya pergi ke luar. Letak duduknya ada di baris terakhir, samping jendela, sehingga memudahkan Jeonghan mencari pengalihan. Dengan kuping tersumpal headset, Jeonghan memenuhi kepalanya dengan musik bersemangat dari grup kesukaan; volumenya cukup membuat tiga orang di samping-sampingnya merasa terganggu dan tidak fokus dengan pelajaran.

Gadis manis yang duduk di sebelahnya hanya bermaksud baik, “Anu, Jeonghan-sshi? Bukankah seharusnya kau mendengarkan penjelasan Kyungsoo Ssaem? Beliau bilang materi ini akan banyak dibahas dalam semester ini.”

Bu Kyungsoo sedang mengulas sejarah Tiga Kerajaan saat melihat Jeon Wonwoo coba menasihati Yoon Jeonghan. Sebenarnya dia tahu kalau sejak awal Jeonghan tidak memiliki ketertarikan dalam kelas; Kyungsoo sudah mendengar dari dua wali kelasnya yang terdahulu, kalau anak itu sama sekali tidak bisa dipaksa. Ia akan masuk kelas dan keluar semaunya. Maka, Kyungsoo memutuskan untuk memantau tanpa bertindak.

Jeonghan memutar bolamata, melepas sebelah plug. Ia telah melalui sepertiga hari yang buruk dan rasa kesalnya sudah sangat memuncak. “Sekarang apa? Aku harus menonton ceramah dari sesama murid? Ah, sayang sekali aku berhenti tertarik pada drama karena isinya membosankan semua; sama sepertimu.” katanya, lalu kembali bermalasan seperti tadi.

Wonwoo bersikeras, “Aku peduli padamu.” Ia mencabut headset Jeonghan dan membuangnya ke lantai.

Tangan Jeonghan terangkat untuk menampar Wonwoo, tapi sebelum itu bisa terjadi, pergelangan tangannya dicekal cukup keras, “Jangan mengacau di kelas.”

Saat Jeonghan mendongak untuk melihat siapa yang berani lancang, dia tertegun. Namanya Hong Jisoo, dan dia adalah siswa laki-laki yang pertama menatap ke dalam mata Jeonghan tanpa merasa gentar.

[to-be-continued]

Ladies' Prince | JihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang