Mentari hampir redup binarnya pada sore itu. Bias oranye masih nampak dalam aura dan pelupuk mata. Secara keseluruhan cukup damai. Namun, gadis kecil itu berhenti tepat pada mulut gang yang gelap pada tengah kota. Matanya biru bersinar menatap bola kemerahan yang melayang di udara, seperti sedang mengapung di atas air. Juga, sedikit menyinari lorong dan bias cahyanya benar-benar indah.
"Mama, lihat!" Gadis itu menunjuk bola itu namun tatapannya menatap udara kosong pada balik punggungnya. Meskipun poni pirangnya cukup panjang, namun hal itu tak menutup sebuah lahan kosong yang tengah dituju sorot matanya. Sekadar, bunyi mesin truk yang tengah melaju membarengi palingannya tadi. Tak lebih, tak kurang.
"Mama dimana, ya?" Tak begitu peduli.
Namun gadis itu juga terkejut, bola merah itu menghilang tertelan gelapnya gang saat itu. Aneh, dua benda yang sebelumnya tertangkap pada kemilau matanya telah menghilang.
Namun...
"Sudah kuduga..."
Tak begitu acuh, ia hanya menggidikkan bahunya. Tubuh kecilnya masih melakukan gerakan ekspresif yang sering kali dilakukan seorang anak. Dengan beberapa senyum, ia tak sadar bila...
"... yang di kota lebih mudah."
Seketika, bola yang tadi mengintai pada punggung gadis itu merubah wujudnya menjadi seorang manusia raksasa berkulit merah dengan gada yang siap menghantam. Gada keemasan itu berbinar dan berayun keras menghempas lantai dengan dentuman yang cukup kencang. Beberapa percik merah menyiprat seketika beserta dentum retak tanah semen yang ia hantam.
Nampak, darah membucat meluas ke seluruh lahan, tembok, serta beberapa atribut masyarakat pada gang itu. Sang raksasa hanya tersenyum bengis menatap gada emasnya yang telah membuat bentukan gadis itu amburadul. Mata hijaunya berbinar dan berkilat sembari tangannya meraup sisa-sisa daging segar. Tubuh di bawah bagian kepala tepatnya. Sekarang, onggokan daging itu dikoyak oleh deretan gigi-giginya yang besar, gadis itu benar-benar telah tak bernyawa dan tak berkelit ketika tubuhnya kini berlumur liur dan digalas habis.
Dengan lahap, raksasa itu memakan bangkai segar gadis itu. Nampak darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Secara moral, raksasa itu kurang anggun dalam melakukan proses konsumsi tersebut. Ganyang dan lahap. Tak begitu peduli kotor selayak makhluk barbar.
"Ah..." Hela napas. Entah lega, ataupun kenyang. "Sudah kuduga yang kecil lebih kenyal dan lezat."
Ucapan barusan menandai akhir santap riang sore hari miliknya. Dan, tubuhnya tiba-tiba bersinar. Sedikit kemilau bewarna merah yang membias selayak aura. Tubuhnya perlahan mengecil. Deret giginya mulai mengecil juga, berbareng dengan warna kulit yang mulai memucat. Rambutnya yang berantakan itu, mulai memendek dan rapi dengan sendirinya. Entah kenapa, perlahan cahaya itu membuat jaring-jaring yang seketika menebal dan berubah menjadi suatu busana kaos dengan celana Jean's yang cukup ketat. Tampilan sederhana itu menandakan kamuflase sempurna dari sang iblis yang kini menjadi lelaki seperti manusia biasa.
"Tapi, jika segini saja mana mungkin aku kenyang." Bukan wajahnya saja yang berubah tampan, suara beratnya tadi berubah lebih lembut dan maskulin.
Hah, hah, hah...
Tersadar ia jika mendengar suara napas tergopoh seseorang yang tengah berlari. Lelaki dengan setelan jaket hitam yang ketat sedang berlari lelah ke arahnya. Rambutnya hitam legam dan sedikit kurus. Langkahnya berhenti sekitar 5 meter dari iblis tadi.
Melihat wajah lelaki itu yang sepertinya asing, lantas iblis itu langsung menyapa dengan kamuflasenya "Hello! Can I help you?"
"Kimi, Geniwatu-San desu ka?" Bahasa Jepang, dalam bahasa berarti 'Kau, Tuan Geniwatu, ya?'
YOU ARE READING
Chaser - Reincarnate
FantasyAhmad Kuncoro adalah seorang Chaser muda. Namun, ia tak pernah sadar jika hidupnya dalam masalah ketika ia tak begitu mempedulikan lengannya. Lengan seekor naga hitam. Tapi, dengan adanya lengan itu, jejak ayahnya yang telah lama hilang kini mulai t...