Jarak antar sekolah menuju pusat perbelanjaan yang sedang dituju oleh keempat remaja itu tidaklah dekat. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai disana, itu juga bila jalanan ibukota lancar. Namun, berhubung mereka pergi menggunakan sepeda motor, biarpun jalanan padat merayap, tidak akan jadi masalah untuk mereka. Kelebihan menggunakan sepeda motor adalah pengemudi dapat dengan mudahnya menerobos jalanan yang padat oleh kendaraan sehingga waktu yang digunakan tidak meleset jauh dari perkiraan.
Tiba di parkiran, Arsya dan Gerry mematikan mesin motornya setelah mendapatkan parkiran untuk motor mereka. Nandieta memberikan helm yang ia gunakan pada Arsya, lalu ia melihat kaca spion untuk merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena lupa dikuncir tadi.
"Ta, madep ke belakang dulu deh. Gue mau ganti baju." Ucap Gerry siap-siap melepas satu persatu kancing seragam sekolahnya
Nandieta menuruti perintah Gerry. Alih-alih menunggu ketiga temannya yang mengganti pakaian mereka, Nandieta membuka tas ranselnya dan mengeluarkan cardigan berwarna maroon yang ia bawa. Ia menaruh ranselnya diantara kedua pahanya lantas memakai cardigan miliknya untuk menutupi seragam sekolah yang ia pakai.
"Sudah belum?" Tanya Nandieta tanpa membalikkan tubuhnya
"Belum, itung lagi dari awal dong!" Seru Arya tepat di sebelahnya
Nandieta mendelik. Ia menoyor kepala Arya sekali. "Emangnya lo pikir gue lagi mainan petak umpet?"
"Ayo, buru." Seru Arsya berjalan duluan memasuki mall tersebut
Arya, Gerry, dan Nandieta hanya mengikutinya dari belakang layaknya seorang body guard. Sebenarnya Arsya sendiri bingung kenapa mereka kesini hanya untuk mencari peralatan seni. Tapi, mau bagaimana lagi, satu mulut tentu saja akan kalah dengan tiga mulut.
"Sya, makan dulu kek yuk." Ajak Gerry. Karena melewati sebuah restoran kesukaannya, seketika perut Gerry sangat ingin dimanjakan
Arsya menghentikan langkahnya lalu berpikir. "Ya sudah, tapi jangan lama-lama makannya!"
Ucapan Arsya langsung disambut anggukan dari Gerry. Arya dan Nandieta juga sempat senang karena akhirnya Gerry bisa mewakili keduanya yang memang sedang kelaparan.
"Mau makan dimana?" Tanya Arsya seperti sedang melihat-lihat restoran yang ada di sekelilingnya. Tanpa sengaja, Arsya melihat sosok yang ia kenal. Matanya menyipit untuk memastikan bahwa yang ia lihat tidaklah salah.
"Di imperial lamian!" Seru Gerry bersemangat
Tanpa disadari, Arsya membelalakan kedua matanya. Bukan hanya terkejut dengan apa yang ia lihat, tapi ia tambah terkejut saat Gerry mengatakan restoran tersebut. Arsya menatap Gerry lalu menggelengkan kepalanya. "Restoran lain saja, ya?"
"Tapi gue pengen makan disana" kata Gerry sembari menunjuk restoran langganannya.
"Lo emang gak mau coba makanan di restoran lain? Ayolah, di restoran lainnya aja. Gue traktir deh kalau perlu." Arsya menawarkan untuk mentraktir temannya. Salah besar. Bisa-bisa ia diamuk ayahnya nanti saat ia tiba di rumah. Bisalah ia menarik kembali perkataannya?
"Tidak, gue lagi pengen menu di imperial lamian. Ayo deh, gue sudah lapar!" Keukeh Gerry menarik tangan Arsya
Saat keempat remaja itu melangkah mendekat. Perkataan Arya mengantung langkah mereka. "Itu bukannya cowok lo, Ta?"
Nandieta yang merasa ditanya oleh Arya langsung meliriknya yang ada di sebelahnya. "Rama?" Tanya Nandieta
"Emang cowok lo siapa lagi, Ta?" Tanya Arya sedikit terkekeh. "Itu, di ujung sana ada Rama" lanjut Arya
Nandieta hendak melihat ke arah orang yang ditunjuk oleh Arya, tapi gerakannya terhenti saat Arsya menarik Nandieta menjauh dari restoran tersebut. "Apaan sih, Sya? Gue mau liat!" Nandieta hendak menghampiri Gerry dan juga Arya yang masih berdiri di tempat semula
Sesampainya ia di samping tubuh Arya, Nandieta meminta Arya menunjukkan tempat yang tadi ia tunjuk. Mata Nandieta melirik arah yang ditunjuk jari telunjuk Arya. Matanya membulat. Ia bahkan sempat mengucak kedua matanya agar penglihatannya bisa fokus. "Itu Rama?" Gumam Nandieta pelan
"Bukan Rama kali. Tadi dia bilang ke gue kok kalau dia sudah di rumah." Elak Nandieta berusaha berpikiran positif.
"Itu Rama! Coba deh lo deketin kesana!" Seru Gerry terlihat sedikit marah
Nandieta mengangguk. Sebelum langkahnya menghampiri meja yang membuatnya penasaran, lengannya sudah lebih dulu ditarik oleh Arsya, lagi. "Coba lo telfon dia."
Entah mengapa, Nandieta merasa ia tidak harus menuruti perkataan Arsya. Ia menghentakkan tangan Arsya dari lengannya. Ia kembali berjalan dengan cepat ke meja yang ia tuju.
"Kalian berdua menyusahkan!" Ketus Arsya kemudian berlari kecil menyusul Nandieta yang sudah terdiam membeku di tujuannya.
"Rama?"
Cowok yang merasa namanya baru saja dipanggil itu mengalihkan pandangannya dari gadis yang ada dihadapannya. Seketika tubuhnya menegang. Ia menatap gadis yang baru saja memanggilnya. "Nandieta?"
"Kamu lagi apa disini? Tadi kamu bilang sudah di rumah." Tanya Nandieta berusaha tersenyum
"A..a-aku.. aku lagi kerja kelompok."
"Hanya berdua?" Tanya Nandieta lagi
"Jangan mengelak lo!" Suara itu tercetus begitu saja. Baik Nandieta maupun Rama ia berdua kompak melirik Arsya yang berdiri di belakang Nandieta.
"Ta, kamu lagi apa disini?" Tanya Rama mengalihkan pembicaraan sekaligus mengalihkan pandangannya dari Arsya yang menatap dirinya dengan sinis.
"Aku? Aku disini mau datangi kamu." Senyum manis masih tercetak jelas di bibir gadis itu. "Mau ngajakin udahan juga." Lanjut Nandieta
Rama menatap tak percaya pada Nandieta. Ia baru saja diputusi oleh seorang cewek? Yang benar saja! "Lo putusin gue?"
Nandieta mengangguk. "Iya." Pandangannya beralih ke gadis yang sedang menunduk sedari tadi. "Eh lo, gue gak kenal siapa lo tapi gue mau ngucapin selamat ya karena lo berhasil miliki Rama." Setelah mengatakan itu, Nandieta melangkah pergi meninggalkan Rama yang sedang berkhianat.
Arsya geram melihat Rama yang tampak tenang tanpa berniat menghampiri Nandieta. Ia maju untuk memberi bogeman kecil di wajah Rama. Setelah itu ia berlari cepat menghampiri Nandieta yang ia yakini sedang tidak baik.
Arsya sempat melirik ke tempat dimana Arya dan Gerry berdiri sebelumnya, tapi entah kemana hilangnya kedua temannya itu sehingga mereka berdua tidak ada disana lagi.
Nandieta sudah keluar dari mall itu. Sebelum dirinya benar-benar menghentikan taksi yang kebetulan habis mengantar penumpang, tangannya sudah ditarik oleh Arsya sehingga membuat dirinya bertubrukan langsung dengan dada milik Arsya.
Nandieta menangis. Ia tidak sanggup menahannya. Apalagi saat ini ia mendapatkan sandaran gratis dari Arsya yanf mampu memancing emosinya. "Sakit rasanya, Sya." Lirih Nandieta dalam pelukan Arsya
Perlahan tangan Arsya mengelus rambut Nandieta. Ia ingin menenangkan Nandieta. Setidaknya, biarlah dia merasa berguna sebagai seorang teman. Berada disisinya saat Nandieta benar-benar membutuhkan sandaran untuk meluapkan segala emosinya.
"Gue disini, Ta. Keluarin aja kalau lo gak sanggup untuk menahannya."
Tbc....
P.s: mohon vote dan komentarnya ya, biar semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih:)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSYANDIE
Teen Fiction•Sequel Marrying My Enemy• "karena yang ku tau, cinta itu buta." Arsya tak pernah sedikitpun berpikir kalau masa remajanya akan jadi seperti saat ini. Hidup bersama keluarga yang sangat menyayanginya. Meskipun ia tau, kalau dirinya bukanlah anak kan...