Kapak!! Kak Lian dibelai-belai. 😘😘
Happy reading...
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
"Akhirnya Mami dapat cucu!" seru mami begitu aku tiba.
Pelukan mami jadi sambutan begitu aku masuk ke rumah. Dengan begini aku bisa menginjak bumi lagi. Aku merasa masih hidup dalam dunia yang waras di mana mamiku ada. Bukan dunia gila di mana ada Lian yang ingin mengambil anakku.
"Bawa Siwi ke atas, jangan buat dia stres!" Mami berkata kepada Lian yang sejak tadi berdiri di belakangku.
Aku menaiki anak tangga satu per satu menuju kamar di lantai dua. Kecepatanku untuk sampai lebih cepat dari biasanya. Bagai dikejar setan karena orang itu mengikuti. Ketika akan mengatupkan daun pintu, sebuah tangan menghalangi. Lian Wiratama Juanda, suamiku.
Aku tidak ingin melihat wajahnya, berbicara, dan bersentuhan dengannya. Semakin kuat kumendorong, makin keras dia menahan hingga sebuah teriakan keluar dari kerongkonganku sendiri. Jariku nyaris terjepit dan dia segera mengulumnya dengan panik.
"SIWI KENAPA KAMU?" Mami berteriak dari bawah membalas teriakanku barusan.
Napasku berpacu ketika emosi menguasai kepalaku. Muak. "Lepas!" Aku tarik tanganku darinya. "Kubilang, pergi dari sini!" Kedua rahangku menegang. Dia terus maju ingin memastikan jemariku baik-baik saja.
"Wi, aku suamimu. Aku ingin di sini, menjagamu dan calon anak kita."
Aku semakin kesal. "Tidak, dia bukan anakmu. Ini anakku sendiri. Kamu tidak aku izinkan mengklaim anakku!"
"Bagaimana bisa kamu punya anak sendirian? Aku ayahnya, Wi!"
Napasku terengah ketika terduduk akibat mimpi itu. Kupandangi sekeliling kamar. Ini kamarku di rumah mami. Netraku tertumbuk pada jam kecil di atas nakas. Saat ini baru pukul setengah tiga pagi. Kutarik dan kuembuskan napas untuk meredakan gejolak pada jantung. Sebaiknya aku melaksanakan tahajud.
Mimpi itu menakutkan sekali. Untunglah, yang barusan kualami hanya bunga tidur.
Oh iya, ini sudah beberapa hari sejak Lian kembali. Dia benar-benar menitipkanku di rumah mami. Mungkin akan menjemputku beberapa hari kemudian karena dia pasti akan bersama Aqila terlebih dahulu.
Sabarlah, Siwi.
***
"Mami. Siwi ingin keluar. Mami titip makanan? Atau Mami ingin ikut?" tanyaku kepada mami selesai berganti pakaian.
Hari ini perasaanku terasa ringan. Rasanya beban yang kutanggung belakangan terangkat. Ada perasaan lega seperti telah menyelesaikan suatu masalah yang rumit. Karena ini perasaan positif, aku takkan memikirkan sebabnya. Yang terpenting aku merasa nyaman.
"Dengan mahasiswimu yang itu?" Mami mendekatiku yang kini berdiri di anak tangga terakhir, anak tangga pertama di lantai satu.
"Bukan. Ini Allan. Dia mengajak Siwi untuk gantian mentraktir karena waktu itu sud—"
Mami menarik tanganku lalu dia hela kembali menaiki anak tangga sambil mengomel, "Tidak boleh keluar dengannya! Dengan laki-laki lain juga jangan. Kamu sudah ada suami. Tidak baik keluar dengan laki-laki yang bukan mahrom kamu!" Omelan mami ia jeda ketika kami sudah sampai di lantai dua. Kurasa mami ingin menjewerku. Aku merasa seperti anak kecil saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...