Dua.

13.9K 643 16
                                    


Gadis yang sedang menatap kosong keluar jendelanya sedang menghafal nama-nama iblis dineraka yang ia tahu sekarang.

Setegar apapun ia hanya seorang wanita biasa yang kapanpun bisa saja jatuh dan lemah dalam sekejab.

Air yang terus turun diluar membasahi tanah yang menjadi pijakan banyak orang bertumpuh kehidupan.

Selebat apapun hujan diluar, tapi hujan dalam kehidupanya masih lebih lebat lagi.

Bukan ia tak lelah, ia sangat lelah tapi demi satu orang yang ia miliki didunia ia harus mampu bertahan dalam keadaan apapun.

"Bunda, Billa berangkat yaa?" Katanya seraya membuka payungnya dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang mampu memberinya lembaran uang untuk nafas bundanya.

Sekejam apapun bundanya dulu tapi ia adalah sosok malaikat yang mampu bertahan untuknya selama sembilan bulan sepuluh hari , dengan berbagai cobaan, ancaman bagi kehidupanya.

Lagi .

Lagi.

Lagi.

Air matanya menetes mengingat betapa menderitanya hidup bundanya dulu. Wajar bila bundanya selalu memukulnya hanya karna satu bahkan dua kata yang keluar dari mulutnya.

Karna matanya, hidungnya, semua yang ada pada wajahnya adalah cerminan papanya.

'Bukan, aku anak tanpa papa' Mantra yang selalu ia ucapkan ketika ia mulai mengharapkan sosok papanya ada disampingnya. Mulai memikirkan papanya.

Tatapan sinis dari para tetangganya adalah makan pagi untuknya. Dan itu seperti kebudayaan sepanjang nafasnya dari masih berusia sangat dini hingga ia tumbuh dewasa saat ini.

Senyuman manis yang ia lontarkan selalu dibalas dengan cemoohan.

'Mulai cari om-om??'

'Mau godaan anak orang kaya mana lagi dia?'

'Ga heran Juga sih kan ibunya juga perebut laki orang'

Helaan nafas menahan air mata yang hampir saja jatuh itu sedikit berhasil.
Langkah kaki yang semakin cepat meninggalkan petakan-petakan rumah itu sedikit mampu mengurangi rasa takutnya.

20 tahun usianya harus berhadapan dengan kerasnya dunia, terbilang masih muda memang. Tapi keharusan menuntunya untuk lebih keras lagi meninggalkan masa mudanya, karna ia hanya ingin bundanya sembuh dan tak membencinya lagi.

Flashback.

"Diam billa, bunda pusing denger kamu nangis dari tadi" Wanita cantik itu mulai berdiri dan mengambil sapunya.

Gadis kecil itu mulai merangkak mundur, menjauh sebisa mungkin agar sapu itu tak bisa mengenai punggungnya.

Tapi itu semua sia-sia, pada akhirnya punggung kecil itu pun harus terluka lagi tanpa perasaan.

"Bunda ampun bunda" Rintihanya tak berarti apapun, tak memiliki arti apapun dipendengaranya.

"Ampun kamu bilang , kamu udah buat hidup bunda hancur" Pukulanya semakin keras ditulang gadis kecil itu.

Dugh.

Tendangan dari bundanya membuat gadis kecil itu harus terpental dan berhasil membuat bahunya berdarah akibat besi kecil disamping meja itu.

"Ughh" erangnya dengan menahan semua rasa sakit diseluruh tubuhnya.

Terdengar deru nafas yang mulai tak beratur. Sapu yang digunakan untuk memukul punggung kecil itu kini terjatuh dan keluar dari pintu.

"Berdiri dan masuk kamar sekarang" Ucapnya tanpa memandang putrinya.

"Kenapa bunda? Apa salah Billa.? Apa billa nakal lagi?" Air matanya jatuh lagi, dengan memegang bahu kirinya yang terus saja mengeluarkan darah segar dari sana.

"Adanya kamu adalah sebuah kesalahan, kesalahan terbesar dalam hidup bunda" Katanya menghampiri putri kecilnya.

"Dan ini" Katanya menunjuk mata gadis itu.
Gadis kecil itu memejamkan matanya menikmati sentuhan tangan bundanya.

"Dan ini" Katanya lagi menunjuk hidung mancung putrinya.

"Dan semua yang ada diwajah kamu mengingatkan bunda dengan dia yang bunda benci." Selesai dengan perkataanya dengan sekali hentakan ia pergi meninggalkan gadis kecil itu terduduk dengan mata terpejam dan menangis merasakan sakit disekujur tubuhnya.

Langkah kakinya tertatih menuju kamarnya. Meringkuk seperti janin, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal yang berhasil menghangatkan tubuhnya. Setidaknya itu membuatnya tertidur.

"Selamat malam bunda"

Flashback Off.

Tanganya terulur menyentuh bahu kirinya, terdapat bekas luka disana.
Hujan membuatnya mengingat betapa sakitnya malam itu.

Malam dimana semua terjadi.
Malam yang membuatnya ketakutan setengah mati.

Ia rela terluka karena tangan bundanya daripada ia harus merasakan hampah tanpa bundanya. Bundanya terbaring lemah saat ini.

Billa (On Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang