Ratih PoV

28.5K 1.3K 13
                                    

Saat waktu membawaku melesat jauh diatas relnya
Menjatuhkan diri mungkin lebih baik
~Dua Cincin~

Tangan mulus itu membelai wajahku dengan lembut. Seolah ingin memberikan ketenangan di relung hatiku yang kini sudah porak poranda.

"Yang sabar nak Ratih... Wajar kalau Rak-"

"Bu... Ibu tidak mengerti apa yang aku rasakan. Aku melihat suamiku tidur dengan wanita lain!" protesku sambil mengusap air mataku yang berjatuhan di sepasang pipiku.

Ibu mertuaku mengusap rambutku, lalu menghela nafasnya. Tidak lupa ia menorehkan senyum khasnya. Senyum yang menenangkan hati. Senyum ini juga yang berhasil menghasut hatiku untuk mengizinkan Raka menikahi Ratna.

"Ibu mengerti. Tapi Ratna sudah sah menjadi isteri Raka. Toh itu wajar-wajar saja..." ucapnya tenang.

Aku menatap kedua bola matanya. Tatapannya teduh. Aku tau wanita ini pernah mengalami hal serupa. Bahkan lebih menyakitkan. Harus bertahan dengan lelaki yang penuh konflik dalam hidupnya. Memiliki suami yang diam-diam hidup satu atap dengan wanita yang tidak ia kenal--lalu ia harus tahu itu semua dari orang lain--untung Wahyudi sudah meninggalkan wanita itu sekarang.

Beliau mengambil sebuah album foto. Entah album milik siapa itu. Membukanya perlahan dan...

"Aku tidak mau melihatnya." ucapku datar sambil membuang pandanganku.

"Coba lihat dulu." ia menarik tanganku.

"Raka tidak mencintainya. Ini semua bukan niat dari hatinya. Kau lihat wajahnya ini, bukankah jelas sekali kalau dia terpaksa menikahi Ratna? Sangat berbeda dengan pernikahan kalian dulu."

Aku memandang malas kearah foto-foto pernikahan kedua suamiku itu. Tapi ibu mertuaku tidak bebohong, mas Raka benar-benar menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya. Kelihatan jelas kalau ia terpaksa.

"Benar 'kan?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.

Aku berdeham.

Beliau menutup kembali album itu lalu menatapku serius.

"Jangan bertindak seperti ini lagi nak Ratih... Jangan sampai Raka jengah dengan sikapmu ini. Tolong mengerti dia. Pertahankan cintanya untukmu. Ini tidak akan lama. Jadi bersabarlah dahulu..."

Dadaku sesak. Aku tidak mau kehilangan cinta mas Raka. Bibirku bergetar. Seketika aku membenamkan wajahku didalam pelukannya. Mencurahkan segala kegundahan yang mengganjal dihatiku.

"Aku harus belajar pengertian. Aku harus bertahan."

"Mungkin kalian butuh sesuatu yang baru dalam hubugan kalian jadi hangat kembali."

Aku mengangkat alisku sebelah. Aku bingung.

"Program momongan mungkin?" tandasnya.

"Momongan?" tanyaku pelan

Ibu mertuaku mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menepuk-nepuk punggungku.

"Iya. Cobalah. Sudah sepuluh tahun kalian menunggu." ucapnya lalu beranjak ke luar.

Lega rasanya karena telah ditenangkan ibu mertuaku. Tapi soal program kehamilan? Aku tidak pernah terpikir tentang itu.

💍💍💍

"Kau tidak ikut makan bersama lagi?"

Ratna hanya menggeleng kepalanya heran, aku langsung menutup pintu kamarnya lagi. Aneh sekali Ratna akhir-akhir ini. Sudah tiga minggu berlalu sejak kejadian yang kukesali itu. Awalnya Ratna masih seperti biasa, tapi seminggu terakhir sikapnya berubah menjadi lebih tertutup.

"Mana Ratna-nya?" tanya ibu mertuaku mendelik kearahku. Aku mengangkat bahuku tanda tidak tahu.

"Biar ibu rayu supaya dia mau makan bersama lagi." lanjutnya seraya beranjak dari meja makan.

"Kamu tidak ada memarahinya lagi 'kan Ratih?" tanyanya menyelidik.

Aku menggeleng kuat "Tidak bu."

Beliau mengangguk pelan lalu melanjutkan langkahnya. Aku segera duduk lalu menyendokkan nasi mas Raka.

"Baguslah kalau dia tidak makan bersama kita. Aku risih kalau ada dia mas."

"Iya." balas mas Raka singkat tanpa menoleh kearahku.

"Mas sedih ya Ratna tidak ikut sarapan dengan kita?" tanyaku heran. Mas Raka menghela nafasnya.

"Bukan begitu Ratih. Sudahlah, masih pagi, jangan ajak aku berdebat." ucapnya lembut sembari mengelus tangan kananku yang sedang menyendok nasi.

"Jangan sendok banyak-banyak. Aku makan sedikit saja." lanjutnya. Aku mengiyakan permintaannya lalu menaruh piring itu dihadapannya.

"Aku mencintaimu, mas." ucapku saat ia mulai memasukkan sendok itu ke mulutnya. Ia mengurungkan suapan itu lalu berdiri. Seketika itu juga sebuah kecupan lembut mendarat di keningku. Cukup lama hingga aku bisa merasakan ada rasa sayang dibalik kecupan itu.

"Aku juga mencintaimu. Dan aku mohon jangan sering marah-marah lagi. Jadilah istriku yang lemah lembut." pintanya sambil melempar senyum.

Aku membalas senyumnya "Iya mas."

Bahagia. Itu yang kurasakan pagi ini. Sebentar pandangan kami beradu. Mas Raka menatapku dalam. Aku menatap manik mata mas Raka, mata hitam legam kesukaanku. Akankah terus seperti ini? Aku yakin mas Raka tulus mencintaiku dan akan selalu begitu, tapi... Kenapa firasatku berkata lain?

💍💍💍

Baca juga:

Dua Cincin (SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH) Baca Ceritaku Yang On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang