#3 Pertama Kali Naik Pesawat Part1

210 11 3
                                    

Sebagai orang yang nggak pernah keluar Lombok dan nggak pernah naik pesawat, saya harus mencari barengan, biar nggak pelanga pelongo di bandara. Saya sempat mengajak ibu, bapak untuk nemenin ke Malang, tapi nggak ada yang mau. Alasannya adalah nggak ada yang jaga warung. Begitu juga keluarga-keluarga yang lain, ada yang alasannya kerja di kota sebelah, nggak ada yang jagain rumah, bahkan kakek saya beralasan, kalo di hari keberangkatan saya ke Malang, dia mau berangkat haji. Padahal belum daftar.

ALASAN MEREKA SEBENARNYA: TAKUT NAIK PESAWAT!

Setelah penolakan dari semua keluarga, saya akhirnya membuat status di Facebook untuk mencari siapa yang akan berangkat ke Malang dekat-dekat ini, dan untungnya ada!

Namanya Alin, adik kelas saya waktu SMA. Dia juga diterima di UMM jurusan Fisioterapi. Namun, saat saya tanya dia akan mengambil UMM atau nggak, dia malah bilang tujuannya ke Malang hanya untuk main-main dan lihat-lihat kampusnya aja, kalo cocok sama kampusnya, dia mau aja kuliah di sana, tapi kalo nggak, dia akan pulang dan akan tetap kuliah di Lombok.

Apapun alasannya, yang jelas saya bersyukur karena punya teman ke Malang. Masalahnya, kami punya kesamaan: sama-sama belum pernah pergi keluar Lombok pake pesawat. Untung aja, Alin punya salah satu keluarga yang kerja di bandara, jadi saat cek in nanti, keluarganya itu akan membantu kami.

Berkat kehadiran Alin ini, semuanya digampangkan. Saat kami ingin pesan tiket, kebetulan keluarganya Alin ada yang punya travel agent. Saat saya nyari koper untuk bagasi, keluarganya Alin ada yang jual. Saat saya pusing nginep di kosan siapa ketika tiba di Malang, Alin punya keluarga di sana. Saya jadi khawatir, jangan-jangan saya ini dijebak untuk memperkaya keluarganya dia.

Selain kami berdua, ternyata ada satu lagi orang yang ikut bareng kami, namanya Ani. Bukan, dia bukan Ani Rhoma Irama. Ani adalah teman kelasnya Alin. Yang berarti dia juga adik kelas saya waktu SMA.

Sama dengan kami berdua, Ani juga belum pernah naik pesawat sebelumnya. Saat saya tanya kenapa dia pergi ke Malang, dengan santainya dia bilang. "Ndak ada, cuma mau nemenin Alin aja, biar dia ndak kesepian di Malang"

Your eyes a!

***

Sebelum hari keberangkatan, kami bertiga udah janjian untuk bertemu di depan pintu masuk Bandara. Alin membawa koper yang sangat besar. Lebih besar dari lemari yang saya pakai di kamar. Sedangkan Ani nggak bawa apa-apa. Dia hanya membawa sebuah tas ransel kecil dan sebuah powerbank. Dia takut di atas pesawat nanti, dia nggak bisa update status karena batrainya sudah 16%.

Dia belum tau aja, di atas pesawat, kita nggak boleh pakai hape.

"Kamu cuma bawa tas doang, ndak bawa apa-apa lagi Ni?"

"Ndak kak, itu udah nitip di Alin" kata Ani sambil menunjuk koper besar warna pink yang dipegang Alin.

Kira-kira setelah setengah jam menunggu, tempat kami didatangi petugas bandara berseragam serba biru dan menggunakan sepatu pantofel. Saya mengira itu petugas keamanaan yang mau melaporkan kami ke polisi karena salah tempat menunggu. Ternyata... itu adalah salah satu keluarganya Alin yang akan membantu kami cek in. Padahal saya udah deg-degan.

Setelah berkenalan dengan mas-mas baju serba biru yang saya lupa namanya, kami bertiga diminta masuk. Saat-saat seperti inilah yang bikin saya sedih. Saya melihat beberapa keluarga yang ikut mengantarkan ke bandara nggak bisa ikut masuk, khusunya ibu, bapak saya. Begitu saya jalan menuju ruang cek in, mereka senyum, seolah-olah "It's oke, everything will be fine" tapi saya tau, mereka juga khawatir, anak paling tuanya yang nggak bisa apa-apa ini, pergi merantau.

Sama mas-mas berbaju serba biru, kami diminta untuk mengeluarkan tanda pengenal dan selembaran tiket yang sudah kami cetak untuk ditunjukkan di loket cek in. Berkat arahan dari mas-mas baju biru, kami duduk di ruang tunggu tanpa kesalahan sama sekali.

Menunggu beberapa menit, gate untuk pesawat kami terbuka, kami mengantre dengan rapi hingga masuk ke dalam pesawat. Dari cek ini sampai duduk di dalam pesawat, saya selalu ngomong sendiri dalam hati.

"Oh ini ternyata yang namanya cek in"

"Oh kalo mau ke ruang tunggu, kita harus lewat sini dulu ya"

"Oh gini ya, dalemnya pesawat, banyak orang juga ya ternyata"

Saya tau di dalam pesawat itu ada pramugarinya, tapi setelah melihat secara langsung, saya ngiler waktu liat tiga pramugari mondar mandir di lorong pesawat. Apalagi belahan rok yang sampe... betis. Apalagi rambut pramugarinya dicepol. Apalagi rambut pramugarinya sebahu dan hidungnya mancung.

Saya jadi pengin beli maskapai penerbangan deh, biar liat pramugari terus.

Mbak-mbak pramugari mulai memperagakan tindakan penyelamatan diri misalkan pesawatnya kenapa-kenapa. Sambil memperhatikan mereka, saya pelan-pelan mengambil lembaran yang ada di punggung kursi penumpang depan. Ketika saya lihat lebih detail.

"INI NGAPAIN ADA PANDUAN DOA DI ATAS PESAWAT! WOY!"

Nggak semua maskapai sih punya lembar do'a kayak gitu, tapi dengan adanya lembaran 'ajaib' itu, saya jadi parno sendiri. Yang punya maskapai pasti pengin penumpangnya masuk surga, kalo sewaktu-waktu pesawatnya meledak.

Setelah peragaan selesai, melalui pengeras suara, pilotnya menyampaikan ke para penumpang kalo sebentar lagi pesawatnya akan take off. Saya menoleh ke arah mereka berdua,

"Gimana, kalian takut ndak?"

"Saya biasa aja sih" kata Ani sok berani.

"Deg-degan" kata Alin. bibirnya Alin yang tadi awalnya warna pink, berubah jadi warna abu.

"Kalo kak Arul?

Saya nggak menanggapi pertanyaan Alin. Dari raut wajah saya, mereka udah tau, bentar lagi saya pasti ngompol.

Tiba-tiba di tengah percakapan, pesawatnya bergerak, ada getaran-getaran yang membuat pesawatnya goyang kayak denger lagu Nella Kharisma atau Via Vallen. Kecepatan pesawatnya makin lama makin cepet, tapi pelan-pelan pesawatnya mendongak ke atas. Tiba-tiba kuping saya berdengung. Reflek tangan saya menutup telinga. Tanpa sadar saya malah teriak.

"SUBHANALLAH!"

Dengan teriakan yang agak banci itu, mata beberapa penumpang mengarah ke saya. Saya sedikit melitik ke samping, Alin dan Ani sedang menahan tawa. Ya namanya juga baru pertama kali naik pesawat, wajarlah. Saya lewat jalan yang tiba-tiba turunan dan bikin perut salah tingkah aja teriak.

Pipi saya memerah. Saya langsung mengambil lembaran doa yang saya pegang beberapa menit lalu.

"Oh... ini ternyata fungsinya"

Setelah pesawat take off, keadaan kembali normal, saya memutuskan untuk tidur aja biar nggak mikir yang aneh-aneh.

Bersambung ke bagian 2: Komunikasian: Pertama Kali Naik Pesawat #2

Komunikasian: Pedih Perih Jadi Anak KomunikasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang